OLAHRAGA
Anomali Borneo FC; Digdaya di Reguler Series, Hancur Tak Berbentuk di Championship Series
Borneo FC menjalani kompetisi musim ini seperti sedang menumpangi roll coaster. Memulai dengan buruk, bangkit dan tak terkalahkan, lalu berakhir dengan kehancuran sampai tak berbentuk. Anomali.
Pesut Etam memulai kompetisi Liga 1 musim 2023-2024 dengan penuh optimisme. Meski tanpa Joni Bustos yang memilih hengkang ke PSS. Pieter Huistra mendatangkan sederet pemain asing yang ia rasa cocok dengan skemanya.
Leo Lelis, Silverio, Jelle Goselink, dan Win Naing Tun didapuk jadi legiun asing, menemani Kei Hirose dan Matheus Pato yang bertahan. Mereka menjalani sesi pra musim yang proper di Yogyakarta. Namun begitu kompetisi dimulai … imbang. Kemenangan perdana berhasil diraih pada pekan kedua, di kandang sendiri. Tapi kemudian kalah di pekan berikutnya. Hanya meraih 4 poin dari harusnya 9. Bukan awalan yang ideal untuk mengejar target kompetisi Asia.
Menjadi lebih buruk karena Pato hanya bertahan di 3 laga awal saja. Setelahnya ia mengajukan transfer request pada manajemen, agar melepasnya ke Shandong Taishan. Itu begitu mendadak dan di ujung bursa transfer.
Manajemen tak mampu mempertahankan Pato yang ingin mengejar impiannya bermain di liga yang lebih baik. Sebagai gantinya, Pato ‘meninggalkan’ uang besar dari hasil penjualannya. Tapi di saat seperti ini, kehadiran lebih penting ketimbang uang.
Di sisa waktu transfer, Borneo FC mendatang Felipe Cadenazzi. Setelahnya berjalan lebih berat. Dari 7 laga, mereka meraih 2 kemenangan, 4 imbang, dan sekali kalah. Sebuah capaian yang tak bisa mengantarkan mereka bersaing di papan atas.
Asa buat bangkit kemudian hadir. Usai meraih 3 seri beruntun, Pesut Etam akhirnya meraih 3 kemenangan. Namun rentetan kemenangan itu, tidak diraih dengan permainan yang memuaskan Pieter. Alih-alih karena taktiknya berjalan, tren positif itu terjadi lebih karena faktor keberuntungan dan keberhasilan Stefano Lilipaly menggendong tim.
Titik Balik Borneo FC
Kekalahan dari Persebaya di pekan ke-11 membuat Pieter Huistra menyerah. Ia secara ekstrem meninggalkan taktik 4-3-3 yang ia jalankan sejak hari pertama membesut Borneo FC. Dan telah dilatih intens selama pra musim. Menggantinya dengan formasi 4-2-1-3.
Ini adalah kegilaan. Bagaimana seorang pelatih mengganti pakemnya saat kompetisi berjalan. Dan benar saja, permainan Adam Alis dkk tampak lebih buruk, tapi mencetak hasil yang lebih baik.
Semua orang bekerja keras beradaptasi dengan perubahan gaya main yang signifikan, tanpa waktu persiapan khusus. Hal ini diperparah dengan belum menyatunya Win, Felipe, dan Jelle ke permainan. Beruntungnya, Pieter berhasil menemukan formula lini pertahanan yang tepat.
Setelah bongkar pasang beberapa kali, ia memutuskan untuk mematenkan kuartet Fajar, Silverio, Lelis, dan Leo. Ditopang oleh Nadeo Argawinata yang seperti terlahir kembali usai masa-masa buruk musim lalu.
Kuatnya pertahanan Pasukan Samarinda benar-benar menjadi kunci dari rangkaian hasil positif kala itu. Adam dan Kei juga sudah mulai menemukan chemistry dalam format 2 gelandang tengah. Sementara Fano tetaplah Fano, ia bekerja keras sebagai playmaker, pemberi umpan, sekaligus pembuat gol di saat bersamaan.
Kedigdayaan
Bulan November tiba, Wiljan Pluim masuk untuk menjadi pelengkap puzzle Borneo FC. Keberadaannya pada posisi nomor 10 membuat permainan tim Samarinda jauh lebih seimbang. Di saat bersamaan, Felipe yang sebelumnya melalui 11 laga dengan hanya 1 gol, berubah menjadi singa lapar di kotak penalti lawan. Oh, jangan lupakan Sihran yang tiba-tiba masuk ke tim inti, dan membentuk trio SFF (Sihran, Felipe, Fano) yang ganas dan agresif di area pertahanan lawan. Lengkap.
Hari-hari selanjutnya adalah rangkaian hari yang penuh kegembiraan. Menang lagi, menang terus. Tak ada satu tim pun yang mampu menghentikan mereka.
Titik Jatuh Borneo FC
Jelang pergantian tahun, Lelis dan Agung Pras masuk ruang operasi. Sadar atau tidak, di sinilah awal mula kejatuhan Borneo FC terjadi.
Tanpa Lelis, pertahanan Borneo FC mulai mengendur. Dari tim yang paling banyak cleansheet, bahkan sempat membuat 4 cleansheet beruntun. Menjadi tim yang susah sekali cleansheet.
Diego Michiels, Komang Teguh, hingga Ezzi Buffon secara bergantian mengisi lubang yang ditinggalkan Lelis. Secara kualitas individu semuanya bagus. Yang hilang hanyalah chemistry lini belakang.
Meninggalkan Stadion Segiri yang angker turut berimbas pada performa mereka. Perlahan, semua kemunduran mulai datang.
Satu per satu pemain pilar diterpa cedera. Tak ada yang tahu pasti penyebabnya. Barangkali, karena Borneo bermain agresif, sehingga memaksa para pemainnya terus bergerak dan berlari yang jadi penyebabnya. Tapi kembali, itu hanya kemungkinan.
Faktanya, tanpa Lelis saja sudah mulai berantakan, kini ditambah kehilangan Pluim, Fano, Felipe. Ditambah lagi, para pemain pelapis ikut mendapat cedera. Benar-benar buruk.
Kehancuran sampai Tak Berbentuk
Dari kekalahan kandang pertama di tangan Madura Untied, dengan skor 0-4. Pesut Etam yang sudah ditinggal banyak pilarnya, menyelesaikan 4 laga sisa Reguler Series dengan 4 kekalahan. Kebobolan 10 gol, mencetak 3 gol.
Ini sudah sangat di luar nalar. Sebelumnya Borneo FC adalah tim yang mencatat 19 laga tanpa kekalahan. Memuncaki klasemen sejak pekan ke-14, tanpa sekalipun digeser. Klub yang paling sedikit dibobol, dan terbanyak meraih cleansheet. Juga klub yang paling banyak meraih kemenangan.
Namun apa boleh buat, badai cedera datang di waktu yang tidak tepat. Sejumlah pemain muda memang bersinar di saat sulit ini. Sebut saja Komang Teguh, Ikhsanul Zikrak, hingga Ezzi Buffon. Tapi penampilan bagus mereka tetap belum mampu membawa hasil positif untuk tim.
Sudah mengangkat trofi Reguler Series, berbekal 21 pekan memuncaki klasemen. Bahkan tim pertama yang masuk ke Championship Series. Tapi waktu-waktu menjelang semifinal Championship Series terasa begitu menyeramkan.
Dan benar saja, tak ada permain ala Borneo di leg pertama, juga pada leg 2. Pesut Etam remuk di kandang sendiri. Kalah 2-3, dengan agregat 2-4. Siapapun yang hadir di Batakan malam tadi, telah menjadi saksi betapa frustasinya 11 pemain berkostum jingga di lapangan. Karena tak mampu menjalin komunikasi yang bagus.
Peluit akhir berbunyi, semua pemain ambruk di lapangan. Menangis, memikirkan entah apa. Dunia seperti berbalik, waktu serasa berhenti, berjalan cepat, berhenti lagi. Mereka kehabisan tenaga, bahkan untuk sekadar meyakinkan diri sendiri untuk bangkit lagi.
Di tengah tatapan nanar dari sepertiga hadirin di Batakan yang memilih bertahan. Para pemain terkapar penuh keputusasaan.
Selamat tinggal trofi Liga 1, selamat tinggal kompetisi Asia. Selamat tinggal pada pencapaian yang sebelumnya sudah sangat di depan mata. Tahun ini, bukan tahunnya Borneo FC Samarinda. (dra)
-
HIBURAN5 hari yang lalu
Gala Premier Film Cinta dalam Ikhlas, Cast Abun Sungkar, Adhisty Zara, dan Maizura Hadir di Samarinda
-
EKONOMI DAN PARIWISATA3 hari yang lalu
10 Tempat Wisata GRATIS di Samarinda, “Karena Bahagia Tak Selalu soal Uang”
-
POLITIK5 hari yang lalu
Daftar Lengkap Real Count Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota se-Kaltim
-
SEPUTAR KALTIM5 hari yang lalu
Hari Guru Sebagai Introspeksi Diri Bagi Para Guru di Kaltim
-
OLAHRAGA3 hari yang lalu
Potensi Comeback 50:50, Manajer Borneo FC Beri Kode Negosiasi dengan Matheus Pato Masih Alot
-
SEPUTAR KALTIM4 hari yang lalu
Hadiri Pelantikan DPP Apindo Kaltim, Yenni Eviliana: Pengusaha Perlu Kolaborasi dengan Pemerintah
-
GAYA HIDUP3 hari yang lalu
Ungkapan Khas Samarinda yang Perlu Kamu Tahu, Pendatang Wajib Baca (Bagian 1)
-
SEPUTAR KALTIM5 hari yang lalu
Pemprov Kaltim Peringati HGN dan HUT PGRI 2024