Connect with us

KUTIM

Bahas Raperda Pencegahan HIV/AIDS, Sanksi Pidana Bagi Pekerja Berisiko Diusulkan

Diterbitkan

pada

RDP Pansus Raperda Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS Kabupaten Kutai Timur bersama instansi terkait pada Rabu 17 Juli 2024.(Kaltim Faktual)

DPRD Kutim tengah menyusun Raperda Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Demi mencegah penularan dan penyebarannya kepada masyarakat. Sanski pidana penjara masuk dalam usulan bagi pekerja beresiko.

Rabu 17 Juli 2024, Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kutai Timur (Kutim) terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS Kabupaten Kutai Timur menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama instansi.

Dipimpin langsung oleh dr. Novel Tyty Paembonan dan Ubaldus Daud. Sementara dari pemerintah turut hadir dari Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Sekretariat Daerah, Komisi Penanggulangan AIDS Daerah, Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia, dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) “One Heart Borneo” Kutim.

Tujuan RDP tersebut, yaitu untuk mendengarkan masukan kepada Pansus DPRD Kutim dalam menyusun Raperda Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS Kutai Timur.

Dalam kesempatan itu, perwakilan Dinas Kesehatan, M. Yusuf menyampaikan, bahwa adanya perbedaan antara kajian akademik yang sudah ada dengan aturan baru dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2000.

Ia mengkhawatirkan perbedaan ini dapat menghambat pelaksanaan program eliminasi HIV/AIDS di Indonesia, termasuk di Kutai Timur. Oleh karena itu perlunya sinkronisasi antara aturan.

“Karena jangan sampai ada tumpang tindih atau pertentangan yang menghambat pencapaian target kita,” ujar Yusuf.

Menurutnya, sangat penting menunggu peraturan pelaksana (PP) dari Undang-Undang Kesehatan yang baru. Sebab PP ini akan menjadi pedoman bagi semua pihak dalam pelaksanaan program eliminasi.

Sementara itu, perwakilan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah, Uce, mengusulkan dalam Raperda ini terdapat sanksi pidana penjara selama 6 bulan bagi pekerja berisiko yang masih melakukan aktivitas jual beli layanan seksual.

Hal itu dilakukan setelah mereka diberikan waktu 6 bulan untuk berubah atau tidak melakukan layanan seksual.

“Pekerja berisiko tidak berubah masih jualan, nah itu tolong dipenjara karena sudah niat buruk gitu. Mau nanti alasan ekonomi, kita sudah sedia duitnya, sedia ini itu, bisa ada alasan lagi masalah ekonomi,” keluhnya.

Keluhan itu disampaikan berkaca dari fakta di lapangan. Apalagi, kata dia, aparat penegak Perda, yakni Satpol PP kerap kurang tegas dalam menegakkan aturan.

Ia pun meminta kelak ketika Raperda ini menjadi perda, agar aparat dapat lebih proaktif dalam mendisiplinkan pekerja berisiko HIV/AIDS tersebut.

Mendengar berbagai masukan tersebut, Anggota Pansus Ubaldus Daud menanggapi. Ia mengakui memang penedakan Raperda ini di lapangan akan dilematis. Apalagi berkaitan dengan masalah ekonomi, yang mendorong pekerja berisiko untuk tetap bekerja di bidang tersebut.

Namun, ia setuju jika hal ini tidak bisa menjadi alasan untuk membahayakan kesehatan masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, ia mengusulkan untuk belajar pada daerah lain dalam penerapan perda tersebut.

“Di Kutim ini, kita perlu memikirkan bersama solusi yang tepat. Meskipun ada poin-poin yang perlu kita diskusikan terkait dengan adat budaya,” paparnya.

Dia pun meminta agar dinas terkait untuk serius menangani masalah sosial dan kesehatan tersebut. Termasuk melilbatkan peran masyarakat dan LSM dalam membantu program pemerintah.

“Kita tidak bisa mengandalkan Satpol PP saja. Masyarakat dan LSM harus proaktif dalam melaporkan dan membantu menegakkan aturan,” kata Ubaldus.

Sementara bagi Dr. Novel, disinggung soal usulan pidana, Ia mengaku mendukung usulan tersebut. Di mana perlu adanya sanksi tegas bagi pekerja berisiko. “Kita setuju saja asal memang ada aturannya, dan tegas,” tandasnya. (han/am)

Ikuti Berita lainnya di

Bagikan

advertising

POPULER

Exit mobile version
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.