Connect with us

KUKAR

Dilema Pendidikan di Kukar: Minat Besar ke Sekolah Negeri, Tapi Lahan Terbatas

Diterbitkan

pada

Rapat dengar pendapat membahas kebutuhan sarana pendidikan di Kabupaten Kukar. (Chandra/Kaltim Faktual)

Kecenderungan masyarakat Kukar yang lebih memilih sekolah negeri karena biaya dan fasilitas, berhadapan langsung dengan tantangan klasik: keterbatasan lahan dan sebaran wilayah yang luas—yang menghambat pemerataan akses pendidikan menengah.

Preferensi masyarakat untuk menyekolahkan anak di sekolah negeri karena dianggap lebih terjangkau dan fasilitasnya lengkap, menghadapi tantangan utama: ketersediaan lahan untuk pembangunan sekolah baru. Hal ini mengemuka dalam pembahasan kebutuhan sarana pendidikan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).

Sarkowi V. Zahry, Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, menyatakan mayoritas orang tua memilih sekolah negeri.

“Kecuali untuk sekolah swasta yang benar-benar unggulan, minat ke negeri jauh lebih tinggi karena faktor biaya dan fasilitas,” ujarnya, Selasa, 10 Juni 2025.

Namun, luasnya wilayah Kukar menjadi persoalan kompleks dalam menentukan lokasi pembangunan sekolah yang strategis. Sarkowi mencontohkan kebutuhan sekolah baru di Tenggarong. Meski sudah ada SMA 1, 2, 3 dan SMK 1, 2, 3, kapasitasnya masih kurang.

Sarkowi V. Zahry, Anggota Komisi IV DPRD Kaltim. (Chandra/ Kaltim Faktual)

“Setelah dikaji, titiknya di Loa Tebu. Harapannya, sekolah ini bisa menjangkau siswa dari desa/kelurahan terjauh di Kecamatan Tenggarong,” jelasnya.

Kendala Utama: Pembebasan Lahan

Masalah utama yang selalu muncul, tegas Sarkowi, adalah ketersediaan tanah. Idealnya, ada kerja sama antara provinsi (sebagai pembangun) dan kabupaten (penyedia tanah), atau hibah dari tokoh masyarakat/warga.

“Pembebasan lahan itu berat biayanya. Misalnya, rencana awal di Mangkurawang gagal karena tidak ada hibah tanah, akhirnya pindah ke Loa Tebu,” paparnya.

Meski lokasi Loa Tebu dinilai kurang ideal, minat masyarakat ternyata tinggi.

“Hasil pendataan calon siswa di sekitar lokasi sudah melebihi kapasitas dua rombongan belajar (rombel) yang disiapkan,” ungkap Sarkowi.

Ia menambahkan, kehadiran sekolah baru dekat pemukiman meningkatkan minat bersekolah, termasuk bagi anak yang sebelumnya tidak tertampung di sekolah negeri favorit atau memilih menunda sekolah. Namun, pembukaan rombel dibatasi aturan kementerian.

Tantangan Daerah Terpencil dan Transportasi

Muhammad Ruslie, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah 3 Kukar di Disdikbud Provinsi Kaltim, menyoroti tantangan serupa di daerah terpencil, seperti di Desa Batu, Kecamatan Muara Muntai. Meski jumlah siswa memenuhi syarat untuk dibangun sekolah negeri, kendala lahan menghalangi.

“Anak-anak dari Desa Batu dan sekitarnya terpaksa bersekolah di SMA 1 Muara Muntai dengan transportasi ces (perahu tradisional) yang mahal, atau memilih kos,” jelas Ruslie.

Budaya setempat, di mana remaja sering membantu orang tua bekerja (seperti nelayan), membuat opsi asrama atau tinggal jauh dari rumah dirasa kurang cocok.

Dilema Sekolah Negeri vs Swasta

Ruslie juga mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara sekolah negeri dan swasta. Meski memahami keinginan orang tua dan siswa untuk masuk negeri, memenuhi semua permintaan bisa membahayakan keberlangsungan sekolah swasta.

“Jika semua siswa dialihkan ke negeri, sekolah swasta bisa kekurangan murid. Ini perlu dipertimbangkan,” tegasnya.

Solusi untuk menampung siswa yang belum tertampung di sekolah negeri, menurut Ruslie, bisa melalui sekolah swasta.

“Siswa yang tidak tertampung di SMA/SMK/SLB negeri bisa dibantu oleh sekolah swasta,” pungkasnya, menekankan perlunya sinergi untuk mengatasi kekurangan daya tampung sekaligus menjaga ekosistem pendidikan yang beragam. (chanz/sty)

Ikuti Berita lainnya di

Bagikan

advertising

POPULER

Exit mobile version
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.