Connect with us

FEATURE

Fave: Merajut Bunyi Global dari Samarinda, Musik yang Melampaui Batas

Diterbitkan

pada

Musisi Samarinda, Fave. (Chandra/Kaltim Faktual)

Di tengah riuhnya musik arus utama, ada alunan tenang yang mengalir dari Kota Tepian, Samarinda. Suara itu tidak keras, tapi dalam. Tidak memaksa, tapi menghanyutkan. Dialah Fave—musisi independen yang merangkai harmoni dari ambient elektronik, world music, dan jiwa yang mengembara jauh melampaui batas kota kelahirannya.

Nama Fave mungkin terdengar sederhana, berasal dari panggilan akrab saat masa SMA. Namun di balik nama itu, tersimpan dunia bunyi yang rumit, reflektif, dan penuh eksplorasi. Sejak mulai merilis karya pada 2019, Fave sudah menelurkan satu album penuh berisi sembilan trek yang tak sekadar musik, tapi juga pengalaman—suatu perjalanan batin yang dituangkan dalam bentuk suara.

Alih-alih mengejar tren dan algoritma, Fave memilih jalan sunyi namun jujur. Musiknya menjelajahi ruang ambient yang dipadukan dengan instrumen dari berbagai budaya dunia. Sitar India, denting djembe atau tabla Afrika, dan tekstur suara alami membaur menjadi satu.

“Aku bikin musik karena ada yang ingin aku sampaikan. Suara-suara ini mencerminkan diriku,” ucapnya, lirih namun pasti. Baginya, musik adalah refleksi dari kecintaan terhadap budaya, kedamaian, dan kerinduan akan dunia yang lebih lembut.

Inspirasi Fave datang dari banyak penjuru. Odesza, Kasbo, hingga Bon Iver adalah beberapa nama yang membentuk cita rasanya. Tapi sumber paling kuat tetaplah Samarinda—kota yang diam-diam terus membisikkan cerita. Bahkan pengalaman studi di luar negeri pun menjadi ruang perenungan. Salah satu lagunya, “Japanese Garden”, lahir dari ketenangan taman Jepang di Toulouse, Prancis. “Tempatnya sangat tenang dan memberi inspirasi,” kenangnya.

Fave menjalankan hampir seluruh proses kreatif seorang diri—komposisi, vokal, mixing, hingga mastering. Meski begitu, ia terbuka untuk berkolaborasi, terutama dalam penulisan lirik. Tak heran, karya-karyanya terasa personal namun tetap bisa disentuh oleh siapa saja.

Namun, menjadi musisi independen di Samarinda bukan tanpa tantangan. Monetisasi karya masih menjadi persoalan besar, mengingat ekosistem musik yang belum sepenuhnya mendukung. “Keberadaan label yang solid masih terbatas,” keluhnya. Meski begitu, ia tetap optimis. Baginya, Samarinda menyimpan banyak potensi. “Banyak musisi hebat di sini. Beberapa bahkan sudah melangkah ke kancah nasional.”

Fave menyimpan harapan besar untuk skena musik lokal. Ia membayangkan Samarinda yang memiliki panggung inklusif, penuh keberagaman, dan energi kreatif yang tak melulu seragam. “Saya ingin scene musik kita lebih berwarna, tidak monoton,” katanya dengan semangat.

Kini, Fave tengah mengerjakan proyek-proyek baru. Bukan hanya musik, tapi juga photobook yang dipadukan dengan audio sebagai narasi pendamping—usaha untuk menjembatani visual dan suara dalam satu pengalaman puitis. Beberapa materi baru juga sedang digarap, baik dalam bentuk single, EP, maupun album.

Mimpinya? Tinggi. Tapi tak mustahil. Fave ingin suatu hari bisa berkolaborasi atau setidaknya terhubung dengan Beautiful Mind, kolektif kreatif pimpinan Jon Bellion, musisi dan penulis lagu asal Broadway.

“Saya ingin terhubung dengan mereka. Musik mereka sangat manusiawi,” tutup Fave, merajut mimpi dari Samarinda, dengan harapan suatu hari suaranya akan menggema ke penjuru dunia. (chanz/sty)

Ikuti Berita lainnya di

Bagikan

advertising

POPULER

Exit mobile version
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.