FEATURE
Layar Tancap di Tengah Kota: Saat Film Menjadi Cermin dan Ruang Temu

Malam itu, Rabu, 18 Juni 2025, Citra Niaga tak sekadar jadi tempat lalu-lalang warga Samarinda. Sebuah layar besar berdiri kokoh di tengah ruang terbuka, menarik perhatian siapa saja yang melintas. Bukan konser, bukan kampanye. Malam itu, film mengambil panggungnya.
Di pelataran yang biasanya hanya dilewati, tikar-tikar digelar, trotoar berubah jadi tribune. Ratusan orang duduk berjejer, bersandar pada dinding, bersila di pinggir taman. Udara kota yang biasa sibuk kini terasa tenang, bahkan hangat—diisi oleh cerita-cerita dari layar yang menyorot tentang alam, manusia, kampung halaman, dan segala yang masih bertahan di tengah derasnya perubahan zaman.
Di antara kerumunan itu, ada Joanes Mario Adityo, salah seorang warga Samarinda yang datang tanpa banyak rencana. Ia hanya ingin menjauh sejenak dari tenggat dan rapat kerja yang menumpuk.
“Aku ke sini cuma pengin istirahat. Nggak berekspektasi apa-apa, cuma ingin nonton sambil duduk santai,” ujar Jo, yang malam itu datang bersama beberapa rekan kerjanya.
Namun saat film mulai diputar, suasana berubah. Lampu-lampu jalan seperti mengalah, memberi ruang pada cahaya dari layar. Adegan demi adegan mengalir—tak selalu lantang, tapi dalam. Ada simbol, ada sunyi, ada yang menyuarakan keresahan, dan ada yang sekadar mengingatkan bahwa negeri ini menyimpan begitu banyak cerita yang belum selesai.
Film Sebagai Cermin dan Suara Lokal
Bagi Jo, tayangan malam itu seperti cermin. Ia melihat dirinya, kotanya, bahkan masa kecilnya di antara visual dan suara yang melintas. Tak semua harus dijelaskan, tapi semuanya bisa dirasakan.
“Senang banget lihat sineas muda Kaltim berani angkat isu lokal. Nggak dibuat-buat. Jujur, apa adanya,” kata Jo—lulusan Program Studi Televisi dan Film Universitas Jember.
Jo juga menyebut acara ini lebih dari sekadar nonton bareng. Menurutnya, layar tancap ini menciptakan ruang: ruang temu antarwarga, ruang tumbuh bagi para pembuat film, sekaligus ruang refleksi bagi siapa saja yang menyaksikan.
Ruang Refleksi yang Perlu Terus Hidup
Ia berharap ruang seperti ini tak berhenti jadi momen sesekali. “Kalau bisa diviralkan, didukung terus. Karena ini media yang penting. Untuk refleksi, informasi, edukasi, sampai pelestarian budaya dan kearifan lokal,” tuturnya.
Jo bukan satu-satunya yang merasakan itu. Malam itu, banyak wajah tampak termenung, tersenyum, bahkan mengangguk pelan di antara adegan yang tak selalu keras bersuara. Tapi film malam itu cukup kuat untuk mengetuk ruang dalam diri mereka—mengajak untuk ingat bahwa cerita kita belum selesai, bahwa budaya kita masih ada, dan lingkungan kita masih bisa dirawat bersama.
Di kota yang terus bergerak cepat, malam itu jadi jeda yang indah. Di balik layar yang bersinar, diam-diam tumbuh harapan agar kisah dari bumi sendiri terus punya ruang untuk ditonton, didengar, dan dirayakan. (sef/pt/portalkaltim/sty).
-
PARIWARA5 hari ago
Konsistensi Pembinaan Yamaha Racing Indonesia, Arai Agaska Ikut Yamaha BLU CRU Master Camp di Spanyol
-
SEPUTAR KALTIM4 hari ago
Putra Kaltim Catat Sejarah, Jadi Pembentang Bendera Pusaka di Istana Merdeka
-
SEPUTAR KALTIM2 hari ago
Konsumsi Ikan Masyarakat Kaltim Naik Jadi 59,75 Kg per Kapita per Tahun
-
SAMARINDA4 hari ago
Ungu dan Setia Band Guncang Samarinda di Malam Kemerdekaan
-
SEPUTAR KALTIM4 hari ago
Harumkan Nama Daerah, Kwarda Kaltim Ukir Prestasi di Ajang Pramuka Nasional
-
EKONOMI DAN PARIWISATA4 hari ago
Harga TBS Sawit di Kaltim Naik, Petani Plasma Ikut Tersenyum
-
EKONOMI DAN PARIWISATA3 hari ago
Atasi Backlog 250 Ribu Unit, Kaltim Tanggung Biaya Administrasi Perumahan
-
SEPUTAR KALTIM4 hari ago
Sakti Gemas Diluncurkan, Layanan Publik Kaltim Kini Satu Genggaman