EKONOMI DAN PARIWISATA
Masyarakat B Aja dengan Kenaikan UMP Kaltim, Ekonom Unmul: Ironi Menyedihkan

Banyak masyarakat Kaltim yang pesimis gaji mereka akan naik sebesar kenaikan UMP. Ekonom Unmul Purwadi menyebut ini sebagai sebuah ironi yang menyedihkan. Mengapa?
Gubernur Kaltim Isran Noor telah meneken Keputusan Gubernur tentang kenaikan UMP Kaltim 2023 sebesar 6,20 persen. Alias naik Rp200 ribuan dari UMP tahun ini. Walau sebagian kalangan ekonom menganggap kenaikan ini tidak signifikan. Menilik angka inflasi Kaltim sebesar 5,69 persen. Namun tetap saja, angka kenaikannya sudah cukup tinggi. Terutama jika dibandingkan dengan tahun lalu yang cuma naik 1,1 persen saja.
Kaltim Faktual mengamati respons masyarakat terhadap ‘kabar baik’ ini. Menariknya, banyak yang pesimis jika gaji mereka akan naik hingga Rp200 ribuan juga tahun depan.
Upaya protes atau melaporkan ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) bukanlah sebuah pilihan. Ketimbang repot-repot memperjuangkan hak berujung kehilangan pekerjaan. Masyarakat cenderung menerima berapapun gaji yang mereka dapat.
Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman (Unmul) Purwadi Purwoharsojo turut prihatin atas fenomena ini.
“Takut melapor ke Disnaker karena takut dipecat atau di PHK. Ini kan sebuah hal yang ironi dan menyedihkan.”
“Karena sejatinya pemerintah harus bisa menjadi mediator di antara dua kepentingan yaitu pengusaha dan pekerja,” ujar Purwadi, Selasa 29 November 2022 melalui aplikasi pesan instan.
Memang, Disnaker sudah membuat regulasi. Bahwa semua perusahaan wajib menggaji pekerjanya sesuai UMK. Namun Purwadi menilai sisi pengawasannya perlu penguatan lagi.
Ia menilai jangan sampai ada atau bahkan banyak perusahaan yang tetap ‘bandel’ menggaji pekerjanya di bawah UMK. Karena jika mengikuti UMK yang berpatokan dari UMP pun, Purwadi menilai nominalnya belum memadai dengan besarnya angka kebutuhan saat ini.
Sebagai regulator, Purwadi mendorong pemerintah dapat merilis kebijakan yang membuat iklim berusaha sehat. Agar pengusaha bisa terus cuan, dan pekerja bisa mendapat upah yang layak.
“Tentu hal ini harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Karena orang jadi … yang penting ada kerjaan dan masih dapat gaji bulanan.”
“Ibarat sebuah perang, situasi (perusahaan dan pekerja) kini dalam kondisi ‘bertahan’ dari serangan luar. Yakni serangan harga kebutuhan pokok yang naik, PHK di mana-mana.”
“Dampaknya bagi iklim usaha bisa terjadi stagnansi. Karena yang penting pengusaha tidak bangkrut. Masih bisa gaji karyawan walau minim.”
“Kondisi ini bisa menahan ekspansi perusahaan, penambahan produksi dan lainnya. Apalagi kalau pengusaha kita ketergantungan dengan bahan baku dari luar negeri. Tentu saja makin berat bagi mereka karena rupiah kita masih megap-megap lawan dolar,” jelas Purwadi.
Upaya win win solution itu harus ada. Karena kondisi stagnan bisa menghambat pertumbuhan ekonomi. Yang ujung-ujungnya, kriminalitas bisa meningkat seiring sulitnya memenuhi kebutuhan. Ini akan menjadi masalah baru ke depannya.
Namun tentunya, Purwadi memaklumi. Membuat kebijakan yang mengakomodir dunia usaha dan pekerjanya sekaligus itu butuh waktu panjang. Saat ini, yang diperlukan adalah bagaimana kebijakan pengupahan itu berpihak pada pekerja terlebih dahulu.
Karena kenaikan 6,20 persen di Kaltim bagi Purwadi tidak sepadan dengan besarnya kebutuhan hidup layak saat ini.
“Inflasi Kaltim 5,69 persen, kenaikan UMP 6,20 persen. Beda tipis kan? Hanya seperti tambal sulam,” herannya.
Makanya, jika pengusaha mengikuti UMP Kaltim, wajar jika buruh tidak terlalu antusias. Apalagi jika tidak mengikutinya.
Ketidakantusiasan ini, menurut Purwadi, ada korelasinya dengan kenaikan harga BBM yang berdampak pada sektor lain pada pertengahan tahun lalu. Ia menggambarkan situasinya dengan; masyarakat sudah dibuat susah dulu. Lalu kenaikan upah yang tergolong minim. Wajar jika masyarakat merasa biasa saja.
Selain perkara harga kebutuhan yang lebih dulu naik ketimbang kenaikan upah. Alasan lain kenapa Purwadi lebih menekankan upah mesti berpihak pada buruh. Karena pengusaha sudah lebih dulu melakukan penyesuaian harga barang dan jasa.
“Pengusaha sudah menaikkan harga produk mereka, menyesuaikan kenaikan biaya produksi dan distribusi.”
“Jadi menurut saya sih, kenaikan UMP 6,20 persen ini tidak memberatkan pengusaha,” pungkasnya.
Di luar fenomena pekerja ogah memperjuangkan haknya. Serta kenaikan upah belum bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Ada satu hal lagi yang membuat potensi kenaikan upah sebesar 6 persen itu benar terealisasi.
Adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim menilai penetapan UMP tahun 2023 cacat hukum. Mereka menolak kenaikan sebesar 6,20 persen karena Pemprov Kaltim memakai acuan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18/2022 tentang penetapan UMP 2023.
Sementara versi Apindo Kaltim, perumusan upah mestinya memakai acuan Peraturan Pemerintah (PP) No.36/2021 tentang pengupahan. Sehingga kenaikan UMP tahun 2023 mestinya berada di angka 4,55 persen. Atau Rp50 ribu lebih rendah.
Perbedaan pandangan ini tentu akan membuat eksekusi kenaikan upah 6,20 persen semakin sulit terjadi. (dra)


-
EKONOMI DAN PARIWISATA4 hari yang lalu
Destinasi Wisata Baru De Jamur Land Sudah Buka, Siap Temani Libur Lebaran 2025
-
NUSANTARA4 hari yang lalu
Menolak Lupa Sejarah Kelam Dwifungsi ABRI, Aksi Kamisan Tolak Keras RUU TNI
-
SEPUTAR KALTIM3 hari yang lalu
Disdikbud Kaltim Minta SMA/SMK Perpisahan Sederhana di Sekolah atau Gedung Pemerintah
-
SAMARINDA4 hari yang lalu
Jukir Liar Teras Samarinda Kian Menjamur, Komisi I Minta Dishub Tingkatkan Patroli
-
HIBURAN4 hari yang lalu
Special Screening “Qodrat 2” Dibanjiri Riuh Penonton, Siap Tayang dan Hantui Libur Lebaranmu!
-
SAMARINDA4 hari yang lalu
Komisi II DPRD Samarinda Sarankan Dinas Pariwisata Berdiri Sendiri untuk Capai Hasil Optimal
-
SAMARINDA4 hari yang lalu
Dewan Kaltim Muhammad Darlis Gelar Penguatan Demokrasi Daerah ke-3 di Samarinda Ulu
-
SAMARINDA4 hari yang lalu
Lahan Subur Bagi Buzzer, Komisi I DPRD Samarinda Minta Masyarakat Tingkatkan Literasi Digital di Media Sosial