Connect with us

OPINI

Menelaah Kembali Kejanggalan Putusan MK Nomor 90

Diterbitkan

pada

mk

Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai pendamping Prabowo sempat menuai polemik. Karena didahului oleh berubahnya aturan pencapresan secara tiba-tiba di MK.

Sebuah Opini dari Mumtaz Azzahra

Pada Kamis 9 November 2023 lalu, putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan bahwa Anwar Usman. Secara resmi diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi.

Hal ini merupakan buntut dari polemik putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 beberapa waktu lalu. Lalu apakah dampak dari putusan MKMK ini dapat secara langsung mengubah putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai batasan umur capres-cawapres, jawabannya tentu saja tidak. Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa kewenangan MKMK hanya sebatas menangani pelanggaran kode etik hakim, tidak sampai kepada mengubah keputusan MK.

Namun dengan diberhentikannya hakim yang terbukti melanggar kode etik, hal tersebut dapat dikatakan sebagai upaya pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan publik yang sempat hilang beberapa minggu kebelakang.

Semua bermula saat publik dihebohkan dengan putusan MK yang menerima gugatan seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru dengan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Pemohon meminta MK mengubah batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. MK mengabulkan sebagian gugatan ini dengan syarat capres-cawapres yang diajukan berpengalaman sebagai kepala daerah.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim MK menyatakan bahwa pejabat negara yang dipilih lewat pemilu dan pilkada layak berpartisipasi untuk kontestasi capres-cawapres meski dibawah 40 tahun karena telah teruji dan terbukti memperoleh legitimasi rakyat. Menurut MK, pembatasan usia minimal dapat menghilangkan peluang dan kesempatan bagi sosok generasi muda yang terbukti kepemimpinannya di daerah dengan pernah terpilih melalui pemilu. Putusan ini mengandung berbagai kejanggalan yang akan dijelaskan sebagai berikut.

Inkonsistensi MK

Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dirasa tak lepas akan pengaruh politik. Sebab, para hakim sebelumnya menolak tegas permohonan pemohon Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dengan alasan syarat capres-cawapres bukan merupakan persoalan konstitusional, melainkan open legal policy. Namun, pada putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang secara substansi mempersoalkan hal yang sama, malah mengabulkan permohonan dan menambahkan syarat “berpengalaman sebagai kepala daerah” untuk seseorang maju sebagai capres-cawapres.

Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan, pada RPH Putusan Nomor 29/PUU-XXI/2023, dihadiri oleh seluruh Hakim MK kecuali Ketua MK, Anwar Usman. Hasilnya para hakim bersepakat untuk menolak permohonan ini, dengan dua hakim yang memilih dissenting opinion (pendapat berbeda). Namun, pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, Ketua MK hadir dalam RPH dan beberapa hakim tiba-tiba bersikap mendukung model alternatif yang dimohonkan pemohon.

Legal Standing (Kedudukan Hukum)

Almas Tsaqibbirru menyatakan bahwa dirinya bercita-cita ingin menjadi presiden atau wakil presiden sekaligus pengagum dari Wali Kota Surakarta periode 2020-2025, Gibran Rakabuming Raka.

Masih merujuk pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, Almas mengulang kembali soal Walikota Surakarta yang dikaguminya. Bahwa Pemohon tidak bisa membayangkan terjadinya jika sosok yang dikagumi para generasi muda tersebut tidak bisa mendaftarkan pencalonan presiden sedari awal, hal tersebut sangat inkonstituonal karena sosok wali kota Surakarta tersebut mempunyai potensi yang besar dan bisa dengan pesat memajukan kota Surakarta secara pertumbuhan ekonomi.

Almas tidak menjelaskan lebih rinci soal korelasi kerugian konstitusional dirinya yang bercita-cita ingin menjadi presiden atau wakil presiden dengan batas usia capres-cawapres. Hal ini menggambarkan bahwa permohonan Almas tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum) yang kuat.

Konflik Kepentingan

Motif konflik kepentingan sangar jelas terlihat dari hubungan keluarga Anwar Usman selaku Ketua MK, dengan Gibran Rakabuming Raka, tokoh utama yang disebut sebagai alasan dari gugatan ini diajukan. Posisi Anwar Usman tentu harus dipertanyakan dan sudah jelas bertentangan dengan undang-undang, terutama pada Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

Dalam ketentuan pasal tersebut, seseorang wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila memiliki kepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap perkara. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, seharusnya Anwar Usman menjadi tidak layak memimpin persidangan perkara baik sebagai Ketua Majelis maupun sebagai Hakim Konstitusi.

Tentang Penulis

Mumtaz Azzahra adalah seorang mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman. Ia memiliki minat pada aktivitas membaca, menulis, serta voice over. Temukan Azzahra di Instagram dengan akun @mumtazazhr. (dra)

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.