Connect with us

SAMARINDA

Nikah Siri Masih Marak, Kemenag Ingatkan Dampak Hukumnya

Diterbitkan

pada

RDP DPRD Samarinda tentang dampak praktik nikah siri yang dilakukan oleh penghulu liar. (Nindi/Kaltim Faktual)

Fenomena nikah siri disebut masih marak terjadi di Samarinda. Padahal, menikah tanpa mencacatkan pernikahan di KUA, memiliki dampak hukum yang bakal merugikan ibu dan anak. Apa saja dampaknya?

Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Samarinda mengimbau masyarakat agar mencatatkan pernikahannya secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA).

Nikah siri adalah pernikahan yang sah menurut agama Islam, tetapi tidak tercatat dalam administrasi negara. Pasangan yang menikah secara siri tetap harus memenuhi rukun nikah, seperti kehadiran dua mempelai, wali, ijab kabul, serta mahar.

Maraknya Nikah Siri di Samarinda

Banyak faktor yang mendorong pasangan memilih nikah siri. Di antaranya biaya pernikahan resmi yang dianggap mahal, proses administrasi yang dianggap rumit, hingga tekanan keluarga atau lingkungan untuk segera menikah.

Selain itu, aturan batas usia minimal 19 tahun untuk menikah secara resmi juga menjadi salah satu alasan banyak pasangan muda memilih jalur nikah siri.

Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Samarinda, Ikhwan Saputera, menegaskan bahwa praktik nikah siri bisa berdampak buruk, terutama bagi istri dan anak.

“Di awal mungkin terasa mudah, tapi ketika muncul masalah, yang paling dirugikan adalah istri dan anak,” ujar Ikhwan.

Ia menambahkan, pernikahan yang tidak tercatat secara resmi menyulitkan pasangan dalam mendapatkan dokumen penting, seperti Kartu Keluarga (KK), akta kelahiran anak, dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Kemenag Belum Miliki Data Nikah Siri

Pihaknya mengaku masih kerap mendapat kabar adanya nikah di siri di masyarakat. Karena tidak dilaporkan, akhirnya Kemenag tidak memiliki data pasti.

“Kami hanya mengetahui adanya kasus nikah siri jika ada laporan dari masyarakat,” jelasnya.

Sementara itu, jumlah pernikahan yang tercatat resmi di KUA Samarinda mencapai rata-rata 5.500 pernikahan per tahun. Ikhwan juga menyebut bahwa ada waktu-waktu tertentu yang menjadi favorit masyarakat untuk menikah, salah satunya setelah Lebaran.

17 Penghulu Resmi di Samarinda

Saat ini, Kemenag Samarinda memiliki 17 penghulu resmi yang terdiri dari 16 Aparatur Sipil Negara (ASN) dan satu Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

“Alhamdulillah, jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan, layanan pernikahan tetap tersedia di akhir pekan atau dini hari jika ada permintaan,” kata Ikhwan.

Gencarkan Sosialisasi

Kemenag Samarinda terus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mencatatkan pernikahan melalui berbagai kegiatan, seperti forum majelis taklim, penyuluhan, bimbingan perkawinan, hingga program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS).

“Di mana pun ada kesempatan, kami selalu mengingatkan bahwa pernikahan adalah hak, dan sebaiknya dicatatkan secara resmi,” tegasnya.

Imbauan ini juga sejalan dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2024 yang mengatur pencatatan pernikahan bagi umat Islam.

Meskipun ada pandangan berbeda mengenai keabsahan pernikahan yang dilakukan oleh penghulu liar, pernikahan siri tetap tidak diakui secara hukum negara.

Oleh karena itu, Kemenag Samarinda menekankan bahwa pencatatan pernikahan di KUA merupakan langkah penting untuk memastikan legalitas serta perlindungan hukum bagi pasangan dan anak-anak mereka.

“Kami terus mengimbau masyarakat untuk mengikuti prosedur pernikahan yang benar di KUA agar mendapatkan hak-hak sipil yang jelas,” tutup Ikhwan. (nkh/sty)

Ikuti Berita lainnya di

Bagikan

advertising

POPULER

Exit mobile version
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.