Connect with us

EKONOMI DAN PARIWISATA

Pro dan Kontra Kenaikan PPN Naik 12%, Pengamat Ekonomi Kaltim Ingatkan Bahayanya

Diterbitkan

pada

Ilustrasi: Kenaikan PPN secara brutal bisa berpotensi melemahkan ekonomi masyarakat. (Foto: Freepick)

Rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun depan memang akan meningkatkan pendapatan negara. Namun pengamat ekonomi Kaltim, Purwadi mengingatkan bahwa pengusaha hingga masyarakat bisa terkena dampak buruknya.

Pemerintah Pusat mewacanakan akan kembali menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 1 Januari 2025. Dari yang sebelumnya 10 persen, lalu naik jadi 11 persen tahun lalu, dan akan naik lagi menjadi 12 persen tahun depan.

Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi membuka percakapan dengan Kaltim Faktual dengan sebuah guyonan satir.

“Jangan-jangan ini gara-gara nyari uang makan siang gratis, enggak dapat-dapat? Kalau serius, justru lebih prioritas dibanding IKN. Jadi IKN disuruh tunda aja,” ujarnya  Kamis, 4 April 2024.

Berdasarkan Undang Undang No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah memang diberikan kewenangan untuk menaikkan atau menurunkan PPN. Tetapi pemerintah harus berhati-hati atas rencana kebijakan tersebut.

Baca juga:   Produk Lokal Masih Kalah Bersaing, Pemprov Buat Formula Pemasaran UMKM dan Koperasi Kaltim

Kenaikan PPN ini, kata Purwadi, merupakan bagian dari kebijakan fiskal pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pembangunan serta pemulihan ekonomi. Namun, penting juga untuk mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang mungkin terjadi akibat dari kebijakan ini.

“Nah, kenapa PPN dan pajak hiburan itu simalakama? Karena  dampaknya itu konsumen akhir. Itu kan pengusaha yang paling banyak kena,” katanya.

“Pengusaha kan juga harus cari cuan supaya dia profit. Ketika dia tidak profit produknya harus dijual mahal,” tambahnya.

Efek Domino Kenaikan PPN

Belum lama ini, pemerintah telah menaikkan besaran pajak hiburan. Lalu akan disusul dengan kenaikan PPN tahun depan. Jika kenaikan demi kenaikan terus terjadi, Purwadi khawatir akan menimbulkan dampak berkelanjutan.

Baca juga:   5 Rekomendasi Objek Wisata untuk Libur Lebaran ala Pj Gubernur Kaltim, Semua Bernuansa Air

Apalagi, mayoritas skema pajak akan menyasar konsumen akhir. Misal dalam konteks PPN dari aktivitas impor barang. Dengan meningkatkan pajak, distributor akan menjual produknya lebih mahal pedagang di bawahnya. Pedagang akan menerapkan cara yang sama ke pembeli.

Sehingga muncul potensi terjadinya penurunan daya beli. Kalau itu terjadi, pengusaha lambat laun akan mengalami penurunan penjualan.

“Kalau itu tidak terjadi, pengangguran tinggi, PHK di mana-mana, pertumbuhan (ekonomi) stagnan, ya nanti dampak sosialnya kejadian kriminal melonjak,” ucapnya.

Ia mengambil contoh saat ia nongkrong di tempat cuci mobil pinggir jalan depan rutan. Ada sejumlah kontainer penjual makanan yang peralatan masaknya dicuri oleh orang.

Jikapun harus menaikkan PPN, Purwadi meminta pemerintah menerapkan kurasi. Tidak semua sektor harus merasakannya. Tergantung risiko ekonomi yang akan menyertainya.

Baca juga:   Rumah Ulin Arya Gelar Pesta Rakyat Nusantara di Libur Lebaran; Perpaduan Wisata Paket Lengkap, Seni, Budaya, dan Kuliner

Berkaca dari data BPS tahun 2024, inflasi tertinggi month-to-month terletak pada makanan dan minuman.

“Ini aja harga-harga naik, sembako naik, belum kelar loh. Tahun 2024 inflasi masih tinggi kan? Kok tiba-tiba awal tahun mau dikasih kado lagi kayak gitu?  Mungkin hampir tiap tahun ini ketika kita dapat kado yang naik semua dalam segala hal,” sesalnya.

Di akhir, ia justru menyoroti pemborosan uang negara yang diakibatkan dari perilaku korupsi. Biarpun pajak terus digenjot, kalau uang negara terus-menerus dicuri, apa guna? (gig/gdc/fth)

Ikuti Berita lainnya di Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah Logo-Google-News-removebg-preview.png

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.