Connect with us

OPINI

Quotes Cak Nun; tentang Cinta, Kritik, dan Pemimpin

Diterbitkan

pada

cak nun
Emha Ainun Najib alias Cak Nun. (IST)

Emha Ainun Najib atau yang karib disapa Cak Nun bukan pendakwah biasa. Ia juga budayawan kawakan, sastrawan, serta seniman. Banyak quotes menarik yang ia tuturkan. Berikut beberapa di antaranya.

Cak Nun hingga kini masih aktif sebagai pendakwah plus-plus. Dikatakan begitu karena dai asal Jombang itu punya banyak kelebihan.

Ayah Neo Letto itu terkenal sebagai pendakwah yang memiliki pendekatan rasional. Anti rusuh, dan menerima semua kalangan.

Dia juga terus aktif dalam berkesenian dengan grup musik Kiyai Kanjeng, dan menelurkan banyak judul buku.

Yang menambah istimewa sosok Cak Nun adalah, ia tidak pernah mau masuk TV nasional dan berpolitik. Padahal ‘orang-orang’ TV dan politik gencar mendekatinya.

Meski tak mau terlibat dalam politik praktis, Cak Nun diketahui dekat dengan banyak politisi besar. Dari beberapa rezim. Padahal ia dikenal suka melontarkan kritik keras pada pemerintah.

Pada artikel ini, saya tidak sedang ingin membahas mengenai kritikan Cak Nun pada rezim saat ini. Dengan menyebut Presiden Jokowi sebagai Firaun. Sebaliknya, saya tertarik mengupas beberapa quotes menarik Mbah Nun.

Baca juga:   [OPINI] Catatan Akhir Tahun 2022: Tanggung Jawab SMSI dan Bisnis Media di Tahun Politik

1. Dakwah

Dakwah yang utama bukan berupa kata-kata. Melainkan dari perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah.

Banyak yang memahami berdakwah adalah menyampaikan pesan kebaikan. Mengajarkan ilmu agama pada orang lain, dan seterusnya.

Nah, quotes di atas seperti menampar kita. Bahwa mudah untuk berbicara. Mudah untuk menyampaikan ayat-ayat dari kitab suci. Namun sulit untuk menyontohkan tindakan baik.

Padahal kebaikan itu virus. Menular. Satu kebaikan, akan berlanjut ke kebaikan lainnya. Sungguh quotes sederhana yang penuh makna.

2. Kritik

Ada orang yang mengkritik tapi tidak memberi jalan keluar. Ada orang yang memberi jalan keluar tanpa mengkritik.

Setiap quotes bebas diinterpretasikan oleh semua orang. Namun yang saya pahami, Cak Nun ingin menyampaikan pesan, bahwa semua orang dalam tatanan masyarakat punya perannya masing-masing.

Baca juga:   SISI LAIN: Liga 2 Dihentikan, Klub Papan Bawah Liga 1 Full Senyum

Pengkritik memiliki peran dalam pembangunan, sebagai pengingat. Memberi kritik tak harus disertai solusi. Karena sudah ada orang-orang yang tugasnya mencari solusi untuk kebaikan masyarakat. Tanpa harus mengkritik dan banyak bicara.

Mengkritik bukanlah ‘ngomong doang’. Karena kritikan, bisa menelurkan perubahan. Karena pengkritik, pemangku kebijakan bisa membuat kebaikan. Ini adalah keseimbangan.

3. Masalah

Manusia adalah subyek yang mengatasi masalah bukan yang justru jadi masalah.

Ini seperti: umat muslim jangan meninggalkan salat, nanti dosa. Kita tahu, tapi masih kerap mengabaikannya. Kita tahu bahwa manusia harusnya bertindak baik, tidak bikin masalah, atau membuat kerusakan. Tapi tetap kita lakukan.

Ini adalah sentilan bagi semua orang tanpa terkecuali. Karena manusia sebagai makhluk pintar dan sempurna. Sering tak bisa menahan dirinya untuk tidak membuat masalah.

4. Musuh

Musuh kita adalah kesempitan dan kedangkalan berpikir.

Yes, pikiran adalah anugerah sekaligus bencana. Seperti pisau bermata dua. Baik tidaknya, tergantung cara kita menggunakannya.

Baca juga:   Tahun Terakhir Memimpin Kaltim, Isran Pamit Tipis-Tipis

Kita kerap mengedepankan ego, emosional, dan kepercayaan diri tinggi saat berpikir. Merasa paling dewasa, paling bijak, paling pintar, paling benar.

Padahal, titik di mana kita sudah merasa pintar. Kita sedang menjadi manusia bodoh.

Kedangkalan pikiran tanpa disadari menumbuhkan manusia-manusia yang suka bikin masalah, mencampuri masalah, bahkan sampai memanfaatkan masalah.

Banyak hal buruk terjadi karena dangkal dalam berpikir. Ayo introspeksi.

5. Pemimpin

Dunia ini masih dipimpin oleh orang yang lebih memilih kenyang meskipun dijadikan budak, dari pada lapar tapi bertahan harga dirinya.

Di sebuah negara nan jauh di sana. Ada pemimpin negara yang patuh dan tunduk pada pemimpin partainya. Sebuah pertunjukan demokrasi yang ironis.

Ya itu hanya contoh kecil. Memimpin berarti berpolitik. Bermain politik berarti mendahulukan kemenangan dan kepentingan. Ketimbang kemaslahatan, kebaikan, dan harga diri. (dra)

Penulis: Ahmad A. Arifin

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.