Connect with us

OPINI

Refleksi Pemilu 2024: Wajah Baru hingga Ancaman Pembusukan Politik

Diterbitkan

pada

Ilustrasi pembusukan politik. (iStock)

Banyak petahana kalah bersaing dengan wajah-wajah baru kursi legislatif. Apakah itu karena suksesnya kaderisasi parpol, atau memang ada masalah dalam proses politik, yang mengarah pada ancaman pembusukan politik itu sendiri.

Oleh, M. Darlis Pattalongi

Telah berbilang bulan, pemungutan suara Pileg-nya berlangsung juga. Kecuali KPU-RI, pada banyak tingkatan KPU Daerah (Provinsi/Kab-Kota) telah menggelar Rapat Pleno penetapan Caleg Terpilih di wilayahnya.

Tapi ‘pernak-pernik keunikan Pemilu 2024’ masih terus hangat dibahas banyak kalangan. Tidak hanya oleh para Politisi, tapi juga pada segmen pemerhati politik. Bahkan pada kalangan yang a-politik sekalipun.

Topik yang sering dibahas, yaitu soal ini: “banyaknya Petahana yang gagal mempertahankan kursinya”. Artinya, new comer pendatang baru telah berbondong-bondong mengisi kursi legislatif.

Kita bisa lihat dari 55 kursi anggota DPRD Kaltim terpilih. Tersisa 22 petahana, sisanya 33 kursi, akan disi oleh orang baru semua. Di DPR RI pun demikian. Dari 8 kursi, 3 wajah barunya.

Apakah itu berarti, ‘regenerasi politik’ berhasil diperankan oleh Parpol?

Bukankah memang dunia saat ini, termasuk Indonesia tentunya, telah mengalami pertukaran generasi. Dari ‘generasi tua/tradisionalis’ dan ‘generasi baby boomers’ ke ‘generasi X, Y, dan Z’?

Jika itu faktornya, tentu kita apresiasi. Karena itu berarti dinamika politik Indonesia telah melepaskan diri dari cengkraman dominasi para tetuha politisi.

Pun. Candaan atas fenomena 4L (Lu Lagi, Lu Lagi), menjadi tergerus.

Tapi bagaimana jika ada variabel lain yang menjadi katalisnya?

***

Dua hal yang tak bisa dibantah karena kasat terlihat dalam Pemilu 2024 ini. Yaitu, biaya politik yang semakin mahal dan dinasti politik. Mari kita bahas satu-satu.

Pertama, Biaya politik semakin mahal.

Terhadap ‘biaya politik’ ini, saya teringat kala seorang kawan yang juga menjadi Caleg berkata, “Pemilu 2024 adalah Pemilu paling barbar dan super liberal”. Tidak lagi mengenal kawan dan keluarga.

Yang mungkin ada benarnya.

Saya juga teringat dengan salah seorang Mantan Ketua Umum DPP Partai yang pernah berujar secara terbuka seperti ini;

“Dulu formulanya, kita harus bersiap menghadapi lose (kehilangan, Red) 30 persen dari total vote buying (beli suara, Red) yang dilakukan. Tapi pada Pemilu 2024 ini, kita sudah wajib bersyukur jika ada 30 persen jadi suara dari total vote buying yang kita keluarkan”.

Dari apa yang terjadi itu, tentu saja bagi Petahana. Ia akan cenderung ‘ngerem’  biaya politiknya. Yang bersangkutan akan mengukur ‘belanja suaranya’ dengan pendapatan selama periodesasi ia menjabat.

Tapi, terhadap new comer. Pendatang baru dalam politik. Tentu ia tidak punya cukup wawasan akan komparasi ‘pengeluaran vs pendapatan’ selama ber-DPR. Apalagi mereka datang umumnya dengan kesiapan dukungan fundraising (sponsornya).

Kita semua pasti sepakat. Semakin tinggi biaya politik, maka kontestasi menjadi diperdagangkan secara lebih ugal-ugalan. Disana lah generasi politik akan dicengkram oleh para oligarki.

Kedua, Dinasti Politik.

Politik dinasti itu sebenarnya tidak selamanya berarti datang melalui jalur keluarga (patrimonial). Bisa juga hadir karena faktor kedekatan dengan pihak yang menguasai jalur rekrutmen politik.

Secara normatif, tidak ada yang dilanggar dalam politik dinasti. Bahkan dinasti politik, bisa menjadi bagian dari upaya regenerasi politik itu sendiri.

Tapi dengan catatan, sepanjang reproduksi dinasti itu dilakukan dengan mekanisme demokrasi dalam bingkai rekrutmen politik secara terbuka.

Dinasti Politik tidak datang secara instan. Bahkan secara internal, aspek penyiapan sumber daya yang berkualitas dilakukan secara optimal, terukur dan terverifikasi.

Akhirnya, kalau ke dua hal di atas menjadi faktor utama ramainya new comer wajah baru yang mengisi ruang-ruang legislatif, sesungguhnya itu bukan regenerasi politik yang berhasil.

Sebaliknya. Itulah senyatanya apa yang disebut orang sebagai ‘pembusukan politik’ (political decay).

Jika praktek demikian dibiarkan terus berlangsung. Sesungguhnya kita telah memasuki era ‘krisis kepemimpinan politik’. Pada waktunya, entitas-entitas negara menjadi rusak.

Semoga ‘the end’-nya tidak demikian.

Dari, Belahan Celebes, 23 Mei 2024.

(*/red)

Tentang penulis: Politisi Senior Kaltim, Ketua DPW PAN Kaltim (2010-2020), Anggota DPRD Kaltim Terpilih 2024-2029.

Ikuti Berita lainnya di

Kaltim Faktual menerima kiriman artikel dari pembaca. Baik karya tulis feature, opini/catatan hingga artikel maupun informasi berita. Kirimkan karya Anda disertai identitas lengkap dalam format word, melampirkan file foto berformat landscape, melalui kontak kami (kontak@kaltimfaktual.co atau Whatsapp) dengan subject sesuai dengan karya tulis Anda. (ARTIKEL/OPINI/INFORMASI). Kami harap, karya Anda bisa memenuhi unsur tagline kami: Mengabarkan, Menginspirasi, Menyenangkan.

Catatan: Hak penerbitan menjadi keputusan redaksi. Tulisan yang terbit telah melalui penyuntingan redaksi tanpa mengurangi maksud pesan penulis. Semua materi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi Kaltim Faktual tidak mewakili isi tulisan opini penulis.

Bagikan

advertising

POPULER

Exit mobile version
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.