OPINI
Satria Kanjuruhan

Oleh: Dahlan Iskan
LAGU-lagu pilu. Puisi-puisi haru. Narasi-narasi dari hati yang sunyi. Datang silih berganti. Tragedi stadion Kanjuruhan menggerakkan siapa saja untuk berontak: mengapa terjadi.
Iwan Fals menyanyikan lagu duka nyaris tanpa suara.
Medsos penuh dengan maki, juga puluhan puisi.
Begitu banyak puisi lahir dari tragedi ini. Pun dari seorang putri yang baru ke stadion satu kali:
Judul: Sepasang Sepatu di Beranda Rumah Ibu.
Hampir setiap detik ibu membuka pintu, menyibak tirai jendela, mondar-mandir di beranda,
berharap ada kabar baik dari tetangga.
Melihat dan meratap di sepasang sepatu sekolahmu,
Berharap esok Senin masih kau kenakan seragam putih biru itu.
Tapi kau tidak pulang,
Tergeletak tak berdaya di gelanggang,
Ricuh yang berisik di televisi,
Ibu masih menanti suara piringmu meminta sarapan esok hari.
Nak, napasmu terengah-engah bukan karena soal matematika,
Namun di tengah permainan yang biasanya kau habiskan di sore hari bersama teman sebaya.
Betapa pengap menghirup asap yang seketika melenyapkan mimpi-mimpimu,
Membunuh dan menginjakmu bahkan sebelum kau bilang setuju.
Ibu akan membenci siaran televisi,
Dan Piala Dunia yang bersama Bapakmu dulu selalu kau nanti-nanti.
Atau suara sirine yang menggaung,
Mengantar kepulanganmu, memaksa ibu untuk berkabung.
Nak, kenapa tak kau kenakan saja sepatu itu,
Yang sudah ibu cuci untuk mengantarmu menjemput tim kebanggaanmu,
Dan untuknya kau rela korbankan nyawa,
Dibunuh sendiri oleh mimpimu yang menyala.
Ibu tinggalkan talinya di beranda yang selalu terbuka,
Kapan pun kau ingin kembali ke rumah dan pelukan ibu yang sederhana.
Nak, ibu tinggalkan nasi bersama lauknya di atas meja,
Pulanglah dan santap habis setelah kau lelah berlaga.
Pulanglah, di rumah ada cinta,
Siap menampung berapa pun banyak kau meneteskan –air mata.
“Saya tergerak menulis puisi ketika melihat Aremania cilik meninggal di pangkuan ibunya yang menangis,” ujar Lintang B. Prameswari.
Dia alumnus cum laude STT Telkom Bandung. Jurusan komunikasi. Kini Lintang tinggal di Mojokerto. Masih jomblo. 26 tahun.
Sudah ribuan puisi dia tulis. Baru kali ini terkait dengan sepak bola.
Dia baru nonton pertandingan di stadion ketika mahasiswa: Bandung entah lawan siapa.
Beberapa puisi Lintang masuk buku antologi puisi. Juga menjuarai beberapa lomba. Kini puisi Kanjuruhan Lintang terpilih untuk Disway.
Lintang lahir di Mojokerto. Dia selalu bangga sekolah di SD dan SMP yang sama dengan Bung Karno. Ayah Sang proklamator Indonesia guru sekolah Ongko Loro. Yakni SDN Purwotengah dan SMPN 2 Kota Mojokerto.
SDN itulah yang dulu disebut sekolah Ongko Loro. Kini ada patung Soekarno kecil memegang buku di halaman sekolah itu.
Imawan Mashuri, tokoh seniman Malang, juga menciptakan puisi dan membacakannya sendiri: lihatlah videonya.
Bagus sekali.
Ia pemilik harian Malang Post. Pendiri JTV. Pembangun Manado Post sampai dapat istri di sana.
Harian The Washington Post melakukan investigasi ke Malang. Lima wartawan terlibat dalam penulisan tragedi Kanjuruhan di media ternama di Amerika: Rebecca Tan, Joyce Sohyun Lee, Sarah Cahlan, Imogen Piper dan Aisyah Llewellyn.
Seperti juga liputan The New York Times, The Washington Post menyorot polisi secara amat kritis. Gas air mata yang diluncurkan sampai lebih 40 tembakan di Kanjuruhan. Hanya dalam waktu 10 menit.
Begitu banyaknya gas air mata sampai ada juga yang mengira asap putih tebal di pinggir lapangan itu gas air mata. Padahal itu asap flare yang dilemparkan penonton. Kelihatannya flare itu disiapkan untuk merayakan kemenangan Arema. Karena Arema kalah, flare itu dilemparkan sebagai luapan kekecewaan.
Investigasi Kanjuruhan juga dilakukan organisasi pengacara. Peradi (Persatuan Advokad Indonesia) cabang Malang mengerahkan tim.
Cepat sekali.
Peradi membentuk Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan disingkat Tatak. Hasilnya sudah dilaporkan Imam Hidayat, ketuanya, ke Komnas HAM. Jumat pagi kemarin.
Peradi menyimpulkan bahwa tragedi Kanjuruhan adalah pelanggaran HAM berat. Ini serius sekali. Komnas HAM harus turun tangan.
Sebenarnya yang pertama ditunggu adalah ini: sikap kesatria. Siapa yang harus mengaku bersalah dulu.
Lalu minta maaf secara tulus dan terbuka. 131 orang meninggal ditambah begitu banyak yang terluka pastilah ada yang bersalah.
Satria hanya ada di wayang. (Dahlan Iskan)
Kaltim Faktual menerima kiriman artikel dari pembaca. Baik karya tulis feature, opini/catatan hingga artikel maupun informasi berita. Kirimkan karya Anda disertai identitas lengkap dalam format word, melampirkan file foto berformat landscape, melalui kontak kami (kontak@kaltimfaktual.co atau Whatsapp) dengan subject sesuai dengan karya tulis Anda. (ARTIKEL/OPINI/INFORMASI). Kami harap, karya Anda bisa memenuhi unsur tagline kami: Mengabarkan, Menginspirasi, Menyenangkan.
Catatan: Hak penerbitan menjadi keputusan redaksi. Tulisan yang terbit telah melalui penyuntingan redaksi tanpa mengurangi maksud pesan penulis. Semua materi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi Kaltim Faktual tidak mewakili isi tulisan opini penulis.
-
SEPUTAR KALTIM3 hari ago
Konsumsi Ikan Masyarakat Kaltim Naik Jadi 59,75 Kg per Kapita per Tahun
-
EKONOMI DAN PARIWISATA4 hari ago
Atasi Backlog 250 Ribu Unit, Kaltim Tanggung Biaya Administrasi Perumahan
-
SEPUTAR KALTIM3 hari ago
Pemprov Kaltim Tegaskan Program Gratispol Umrah untuk Marbot Berjalan Bertahap dan Tepat Sasaran
-
SAMARINDA4 hari ago
DP3A Kaltim Dorong Samarinda Segera Miliki Sekolah Ramah Anak
-
SEPUTAR KALTIM4 hari ago
Sineas Muda Kaltim Hadirkan 5 Film Pendek Bertema Budaya dan Pendidikan
-
PARIWARA3 hari ago
Cerita Inspirarif dari Konsumen Yamaha; Karena Setia, Jadi Pemenang Kompetisi GEAR ULTIMA
-
BALIKPAPAN3 hari ago
ISCH III Resmi Dibuka, 4.000 Pramuka Hidayatullah Ramaikan Jambore Nasional di Balikpapan
-
SEPUTAR KALTIM4 hari ago
Target 14 Persen, Pemprov Kaltim Gandeng Kampus dan Pemda Atasi Stunting