Connect with us

SAMARINDA

Soroti Bengkaknya Anggaran BRT, Wali Kota Samarinda Ingin Punya Bus Sendiri

Diterbitkan

pada

Ilustrasi BRT yang akan diterapkan di Samarinda. (Dishub Aceh)

Dishub Samarinda bakal merealisasikan BRT pada tahun 2025 jika disetujui. Namun wali kota menyoroti bengkaknya anggaran dengan model beli layanan. Andi Harun lebih ‘prefer’ punya bus sendiri dan dikelola sendiri.

Sejak tahun 2023 lalu, Dinas Perhubungan (Dishub) Samarinda ingin mengadakan transportasi angkutan massal berkonsep Bus Rapid Transit (BRT). Seperti yang sudah diterapkan di Jakarta,  Banjarmasin, dan Yogyakarta.

Bus-bus itu nantinya akan beroperasi di 7 trayek (jurusan). Terhubung melalui halte sebagai lokasi pemberhentian di beberapa titik di Samarinda. Namun bus akan beroperasi tanpa jalur pribadi seperti Trans Jakarta. Melainkan menggunakan jalan umum bersama kendaraan lainnya.

Menggunakan transportasi berupa bus konvensional ukuran 3/4 alias medium bus, beserta angkot sebagai penunjang. Ide itu awalnya direncanakan terealisasi pada tahun 2024 ini. Namun karena satu dan lain hal, dimundurkan menjadi tahun 2025.

Setelah belajar ke berbagai daerah yang berhasil menerapkan BRT, Dishub kemudian mematangkan rencananya. Dengan memutuskan akan menggunakan opsi beli layanan.

Akan ada pihak ketiga yang menjadi operator. Sementara Dishub bekerja sebagai regulator yang mengawasi. Ini juga akan menghemat biaya, tidak perlu beli dan merawat bus sendiri. Lebih mudah, praktis, dan efisien.

Namun, kekurangannya, anggarannya fantastis. Ada 3 opsi anggaran. Opsi penerapan pertama, 2 trayek dengan anggaran Rp25 sampai Rp30 miliar. Opsi kedua 4 trayek, dengan anggaran Rp50 miliar. Lalu 7 trayek penuh dengan anggaran Rp110 miliar.

Wali Kota Soroti Anggaran BRT

Wali Kota Samarinda Andi Harun kemudian menyoroti besarnya anggaran yang dikeluarkan. Menurutnya tidak sesuai dengan kemampuan APBD yang dimiliki Ibu Kota Kaltim. Lebih baik beli bus sendiri.

“Dan kalau kita mau berpikir simpel kenapa kita enggak beli bus sendiri. Mungkin tidak sebesar itu (anggarannya) kita juga bisa membuka lapangan pekerjaan untuk sopir dan lainnya. Nggak harus habis Rp100 miliar,” jelasnya belum lama ini.

“Menurut saya ideal sih ideal tetapi dari sisi biayanya, kurang ekonomis. Menurut hitungan kami terlalu mahal. Karena pembayarannya bukan sekali, pertahun lebih dari Rp100 miliar kita harus siapkan uang APBD. Ya jadi kurang efisien,” tambahnya.

Menurut perhitungan Andi Harun, bakal lebih murah kalau beli bus sendiri. Perkiraan biayanya, setidaknya 10 unit bisa habis anggaran Rp20 miliar. Lalu dikelola dan di-branding dengan khas Samarinda.

Meski terlihat repot, namun tidak menghabiskan anggaran terlalu besar. Itu juga termasuk evaluasi dari berbagai daerah yang menerapkan BRT, anggarannya terus membengkak untuk pelayanan transportasi publik.

Ditambah APBD Kota Samarinda yang terbatas. Sementara harus digunakan juga untuk berbagai program lain. Mulai dari pengendalian banjir, perbaikan drainase, perbaikan jalan, hingga infrastruktur.

“Kemudian PR dan peta masalah sosial juga pembangunan yang harus diselesaikan sangat besar dan banyak dengan uang yang sangat terbatas.”

Menurut Andi Harun, jika ingin melakukan pelayanan publik, memang harus repot dan capek. Pejabat dan pegawai memang harus diribetkan dengan program pelayanan publik. Karena tugasnya demikian.

“Ya kita kalau melayani publik memang harus repot, sekarang pilihannya, nggak mau repot, simpel, nggak mau terlalu banyak mikir, tapi kita keluarkan duit yang tidak efisien,” kata Andi. 

“Kalau kerja nggak repot, nggak capek, bukan kerja namanya kan. Ya kalau kerja untuk pelayanan ya harus repot,” pungkasnya. (ens/dra)

Ikuti Berita lainnya di

Bagikan

advertising

POPULER

Exit mobile version
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.