GAYA HIDUP
Zoonosis : Ujian Kebijaksanaan Manusia terhadap Kehidupan

“Demi masa depan yang berkelanjutan, mari kita melakukan perubahan gaya hidup dengan beralih ke pola konsumsi yang lebih ramah lingkungan, menghentikan perdagangan dan perburuan satwa liar yang membahayakan kelestarian spesies, serta menjaga kelestarian habitat hutan dan daya dukung ekosistem dengan tidak melakukan deforestasi secara berlebihan.”
Oleh: Nurul Hasanah & Rizal Fahmi Sayekti
Hewan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan suatu keimanan yang patut disyukuri oleh umat manusia dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan, taraf hidup, serta memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein. Keberadaan, kualitas, keamanan dan dampak dari potensi tersebut harus dijamin dengan sistem kesehatan hewan yang komprehensif.
Zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan, baik liar, ternak, maupun domestik (hewan peliharaan), ke manusia. Patogen infeksius yang dapat ditularkan juga dapat berupa bakteri, virus, parasit, dan jamur.
Kasus zoonosis berdampak pada kesehatan masyarakat (kecemasan, ketakutan, kesakitan, bahkan kematian), perkembangan peternakan dan pertanian pada umumnya, perekonomian, pariwisata dan konservasi satwa liar. CDC AS mengklasifikasikan sebagian besar patogen zoonosis sebagai potensi ancaman bioterorisme, misalnya hampir semua patogen zoonosis termasuk dalam Kategori A, yaitu antraks, botulisme, pes, tularemia, dan demam berdarah virus (Ebola, Marburg). Kriteria Kelas A adalah prioritas, mudah menular dari orang ke orang, angka kesakitan tinggi, kemungkinan berdampak signifikan terhadap kesehatan masyarakat, menimbulkan kepanikan atau gangguan sosial, memerlukan tindakan kesiapsiagaan masyarakat khusus.
Semua jenis hewan dapat menularkan virus, bakteri, jamur atau parasit yang menyebabkan banyak penyakit pada manusia. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan, cairan tubuh, makanan, air atau lingkungan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa zoonosis menyebabkan sekitar satu miliar kasus penyakit dan jutaan kematian setiap tahunnya. Setidaknya 6 dari 10 penyakit menular yang ada saat ini bersifat zoonosis dan faktanya, 3 dari 4 penyakit menular baru yang ada pada manusia adalah berasal dari hewan.
Mengenal Zoonosis
Zoonosis merupakan penyakit yang dapat terjadi dengan menginfeksi hewan dan manusia secara bersamaan. Sumber utamanya adalah hewan. Dampak zoonosis dibedakan menjadi dua, yaitu. dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsungnya berhubungan dengan kesehatan manusia dan masyarakat, mulai dari timbulnya penyakit akut dan kronis hingga angka kematian rendah hingga tinggi. Sedangkan dampak tidak langsungnya berkaitan dengan perekonomian nasional dan keamanan nasional.
Seseorang yang terinfeksi zoonosis kronis akan berdampak pada menurunnya produktivitas kerja, yang pada gilirannya mengurangi pendapatan; Sebaliknya jika infeksi zoonosis akut dengan angka kematian yang tinggi mengenai kepala keluarga atau tulang punggung perekonomian keluarga, maka otomatis akan berdampak pada perekonomian keluarga dan nilai investasi sumber daya manusia akan hilang atau menurun.
Risiko Penularan di Indonesia
Di Indonesia, penyakit zoonosis juga dikenal sebagai penyakit yang ditularkan melalui vektor dan penyakit yang ditularkan melalui reservoir. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan yang utama. Sebagai negara tropis, Indonesia diberkati dengan keanekaragaman hayati yang kaya. Namun jika tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan penyakit zoonosis yang dapat menular ke manusia. Kementerian Kesehatan juga mengumumkan telah menemukan 132 mikroorganisme patogen penyebab zoonosis di Indonesia.
Risiko zoonosis dan penyakit menular baru di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, yang dapat menyebabkan peningkatan penyakit, yang berdampak pada sosial, ekonomi, keamanan, dan kesejahteraan manusia
Zoonosis utama di Indonesia yang saat ini menjadi masalah kesehatan hewan dan manusia antara lain flu burung, rabies, antraks, kusta, leptospirosis, sistiserosis, salmonellosis, dan toksoplasmosis. Pencegahan, pengendalian dan pemberantasan zoonosis yang paling efektif adalah, selain pendekatan faktor host-patogen dan lingkungan serta pendekatan multidisiplin, pengendalian langsung pada titik asal, yaitu pada hewan.
Sebagai contoh; Di Indonesia, kasus rabies rata-rata ditemukan 142 kasus per tahun yang tersebar di sejumlah provinsi dan berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan yang diolah oleh badan Litbang Kompas mengemukakan bahwa selama periode Tahun 2019 hingga 2023 kurang lebih sudah tercatat sebanyak 320 kasus kematian akibat panyakit ini. Selain rabies, terdapat jg kasus zoonosis yang cukup signifikan kasusnya di Indonesia yaitu penyakit Leptospirosis. Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira. Bakteri ini dapat menyebar melalui urine atau darah hewan yang terinfeksi. Beberapa hewan yang bisa menjadi perantara penyebaran leptospirosis adalah tikus, sapi, anjing, dan babi. Pada 2012, dilaporkan 828 kasus Leptospirosis di Indonesia dan 78 di antaranya meninggal dunia.
One Health : Antara Manusia, Hewan, dan Lingkungan
Awal mula konsep One Health pertama kali muncul pada abad ke-19 ketika para ilmuwan memahami hubungan antara kesehatan hewan dan manusia. Pada tahun 1940-an, konsep ini semakin berkembang dengan menekankan pentingnya kolaborasi lintas disiplin untuk memecahkan masalah kesehatan. Dan pada Pada awal abad ke-21, konsep One Health semakin mendapat pengakuan global dan diadopsi oleh organisasi kesehatan internasional seperti WHO, OIE, dan FAO.
One Health adalah konsep yang mengakui bahwa kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan saling terkait dan bergantung satu sama lain. Pendekatan ini memahami bahwa kesehatan manusia tidak dapat dipisahkan dari kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan, dan ketiganya saling mempengaruhi dalam suatu ekosistem.
Tujuan utama One Health adalah meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan semua makhluk hidup melalui upaya pencegahan, deteksi dini, dan pengendalian penyakit yang terkait erat dengan interaksi antara manusia, hewan, dan lingkungan.
Strategi utama dalam kerangka One Health adalah Kolaborasi antar disiplin ilmu, Pemantauan penyakit dan deteksi dini, Pemahaman ekosistem dan keseimbangan lingkungan, Kebijakan Kesehatan Bersama, Pendidikan dan kesadaran masyarakat, Pengembangan antibiotic yang bertanggung jawab, Manajemen pangan yang aman dan berkelanjutan, dan Pelatihan dan pengembangan kapasitas
Kolaborasi Lintas Sektor : Demi Keberlangsungan Masa Depan yang Berkelanjutan
Kolaborasi lintas sektor adalah inti dari pendekatan One Health. Hal ini melibatkan kerjasama erat antara berbagai pihak, termasuk tenaga kesehatan masyarakat, dokter hewan, ilmuwan lingkungan, pemerintah, dan masyarakat. Masing-masing sektor membawa keahlian dan perspektif yang berbeda, sehingga dapat saling melengkapi dalam mengidentifikasi, mencegah, dan menangani isu-isu kesehatan yang melibatkan manusia, hewan, dan lingkungan.
Kolaborasi antara bidang kedokteran hewan, ilmu pangan, dan ilmu biomedis telah melahirkan inovasi teknologi pengolahan pangan yang lebih aman, higienis, dan bergizi tinggi. Misalnya, pengembangan kemasan pangan aktif yang dapat memperpanjang masa simpan produk. Teknologi baru ini memanfaatkan pemahaman biomedis tentang mikrobiologi dan kimia pangan, serta pengetahuan kedokteran hewan mengenai kesehatan dan keamanan pangan hewan. Kolaborasi lintas bidang ini menciptakan solusi holistik untuk meningkatkan kualitas dan keamanan produk pangan.
Beberapa contoh studi kasus sukses hasil kolaborasi lintas sektor dalam penanganan dan pencegahan penyakit zoonosis pada konsep one health yaitu : 1). Ilmuwan kedokteran hewan dan biomedis bekerja sama untuk mengembangkan vaksin yang efektif dalam mencegah penyakit pada hewan ternak. Hasilnya, angka kematian hewan menurun drastis dan keamanan pangan meningkat, 2). Kolaborasi ahli gizi, teknologi pangan, dan mikrobiologi menghasilkan proses pengolahan daging segar yang menjaga nutrisi dan memperpanjang masa simpan. Produk akhir lebih sehat, tahan lama, dan aman dikonsumsi, 3). Pakar biomedis dan kedokteran hewan mengembangkan alat diagnostik modern yang dapat mendeteksi penyakit pada hewan secara cepat dan akurat. Hal ini membantu peternak mencegah penyebaran wabah penyakit di peternakan, dan 4). Tim peneliti dari berbagai disiplin – kedokteran hewan, biomedis, dan ilmu pangan – berkolaborasi untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru dalam teknologi produksi dan pengolahan pangan yang lebih aman dan berkualitas.
Perburuan, Deforestasi, Perubahan Iklim, dan Epidemi : Petaka dan Mimpi Buruk di Masa Depan
Perburuan satwa liar secara berlebihan dan tidak berkelanjutan telah merusak keseimbangan ekosistem di seluruh dunia. Kepunahan spesies, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerusakan habitat menjadi konsekuensi langsung dari kegiatan perburuan yang tidak terkendali.
Aktivitas manusia seperti perburuan satwa liar dan penghancuran habitat hutan menjadi pemicu munculnya epidemi penyakit yang berasal dari hewan (zoonosis). Kerusakan ekosistem dan hilangnya keanekaragaman hayati memaksa hewan-hewan liar berpindah ke wilayah manusia, meningkatkan kemungkinan kontak dengan patogen yang dapat menyebar ke populasi manusia. Contohnya, wabah virus Ebola di Afrika sering dikaitkan dengan perburuan gorila dan kelelawar yang menjadi reservoir virus. Demikian pula, deforestasi di Asia Tenggara telah mendorong penyebaran virus SARS-CoV-2 dari kelelawar ke manusia melalui perantara inang.
Deforestasi yaitu penghancuran hutan secara masif, disebabkan oleh ekspansi lahan pertanian, perkebunan, penebangan liar, dan pembangunan infrastruktur. Hal ini tidak hanya mengubah iklim lokal, tetapi juga memicu perubahan iklim global yang berdampak pada habitat alami dan penyebaran patogen sehingga meningkatkan kemungkinan interaksi manusia dengan reservoir patogen, mempercepat proses munculnya wabah penyakit. Hilangnya tutupan hutan mengubah siklus air dan suhu, memicu bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan gelombang panas. Selain itu, rusaknya hutan tropika yang kaya biodiversitas menciptakan celah bagi penyebaran zoonosis dari hewan liar ke manusia.
Perubahan iklim yang ekstrim berpengaruh terhadap habitat dan penyebaran patogen. Kenaikan suhu global menyebabkan pencairan es di Arktik, mengubah habitat alami hewan-hewan kutub dan membuka jalan bagi masuknya spesies asing yang dapat membawa penyakit baru. Perubahan iklim memicu pergeseran zona iklim mengakibatkan migrasi hewan dan tumbuhan ke lingkungan baru. Hal ini dapat memfasilitasi penyebaran penyakit ke populasi yang belum kebal. Selain itu, adanya bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan yang dipicu perubahan iklim dapat merusak habitat alami dan mendorong kontak yang lebih dekat antara manusia, hewan, dan patogen.
Tentang Penulis


Penulis adalah Nurul Hasanah & Rizal Fahmi Sayekti. Mahasiswa Program Studi S1 Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur Tahun 2023-2024.


-
SAMARINDA5 hari yang lalu
Gas Melon Langka, DPRD Samarinda Desak Distribusi Langsung ke RT
-
SAMARINDA3 hari yang lalu
Edu Park Samarinda: Belum Rampung, Tetap Jadi Favorit Anak-Anak
-
BERITA4 hari yang lalu
Siapkan Akhir Pekanmu, Ada Parade Jet Ski di Teras Samarinda!
-
SAMARINDA5 hari yang lalu
Anggaran Pendidikan Kena Pangkas, Guru Besar Unmul: Harus Pilah Prioritas
-
SAMARINDA5 hari yang lalu
Jalan Sehat HUT Kota Samarinda: Tiket Umroh dan 10 Ribu Porsi Makan Gratis Menanti
-
BALIKPAPAN5 hari yang lalu
Besok, Sidang Paripurna Peringatan Hari Jadi ke-128 Kota Balikpapan
-
EKONOMI DAN PARIWISATA4 hari yang lalu
Ini Dia, Rekomendasi Pendapatan Pasif Terbaik 2025 versi Robert Kiyosaki. Bitcoin Masuk?
-
SAMARINDA4 hari yang lalu
Pemegang Kartu Kendali Tak Dapat Jatah Elpiji 3 Kg, Disperindagkop Peringatkan Pangkalan