Connect with us

HIBURAN

Review: “Qodrat”, Horor yang Mahir Bersilat

Diterbitkan

pada

qodrat
Tak cuma modal seram. Qodrat memasukkan koreo aksi berbasis pencak silat. (IST)

Qodrat memberikan sentuhan yang baru dan cukup segar. Selain mengaduk penonton dengan adegan-adegan menyeramkan yang tidak murahan, film ini memasukkan unsur beladiri tangan kosong dengan koreografi yang cukup mengalir.

Oleh : Agus Ferdinand (Gusiq)

Sejak 2010’an ke atas, para sineas lokal tampaknya letih dengan formula horor yang begitu-begitu saja. Atau mungkin saja karena penonton lokal saat ini sudah lebih kritis dan terbuka dengan opsi dan referensi.

Film-film horor yang serba tanggung dan cuma mengandalkan efek kaget-kagetan murahan sudah ditinggalkan penonton. Para penikmat ingin kualitas yang lebih dan garapan serius, baik dari sisi teknis maupun cerita.

“Qodrat” adalah satu dari banyak rombongan gerbong kebangkitan film-film horor lokal yang sudah dimulai sejak satu dekade ke belakang. Bahkan di tahun 2022 ini, tiga besar film Indonesia terlaris sepanjang masa diduduki oleh film horor, yaitu “KKN Di Desa Penari” dan “Pengabdi Setan 2”. Keduanya masing-masing bertampuk di peringkat 1 dan 3.

Film yang dibintangi pasangan suami istri Vino G. Bastian dan Marsha Timothy ini menggunakan pendekatan horor religius. Alkisah, Qodrat adalah seorang ustaz yang kebetulan memiliki karunia dalam hal pengusiran setan.

Di masa lalu, Qodrat digambarkan pernah gagal melakukan ritual pengusiran setan (ruqyah) sehingga mengalami trauma yang amat dalam. Qodrat bahkan mengalami pengalaman dipenjara hingga mati suri.

Cerita berlanjut setelah Qodrat dibebaskan dari penjara. Kepulangannya ke kampung halaman disambut dengan kengerian baru. Desa kampung halamannya sedang mengalami gagal panen dan kering kerontang.

Selain itu, banyak warga desa yang tampaknya mengalami gangguan metafisik. Qodrat akhir tergerak untuk membantu masyarakat desa, walau sebelumnya enggan karena trauma. Namun perlahan rahasia-rahasia aneh terungkap, khususnya yang berhubungan dengan Qodrat dan sahabatnya Zafar.

HMA (Horror Martial Arts)

Horor sebagai genre film seringkali tidak berdiri sendiri. Sering ditemukan horor dipadukan dengan unsur religius. Tidak jarang horor juga berpaut dengan elemen-elemen komedi dan slapstikal.

Namun beberapa kali bumbu-bumbu sensualitas juga diracik ke dalam sebuah film horor, sintesa yang sempat mekar marak di dunia perfilman lokal sejak dekade 80’an hingga akhir 2000’an.

Sebagai film horor yang digarap dengan serius, “Qodrat” memberikan sentuhan yang baru dan cukup segar. Selain mengaduk penonton dengan adegan-adegan menyeramkan yang tidak murahan, film yang dibiayai oleh studio Rapi Films dkk ini memasukkan unsur beladiri tangan kosong dengan koreografi yang cukup mengalir.

Keserasian perpaduan unsur ini mungkin juga dikarenakan latar waktu dan tempat yang tidak mengambil latar masa kini. Walau tidak ada keterangan waktu, latar film ini tampaknya mengambil dekade 80’an.

Subgenre horor dan beladiri memang bukannya baru. Beberapa contohnya adalah film-film vampir sineas Hongkong era 80’ dan 90’an yang dulu juga sering diputar di layer kaca.

Namun jauh dari kesan komikal, sutradara Charles Gozali meramu unsur beladiri pencak silat menjadi salah satu unsur penting yang memperkuat visual cerita. Tata gerak ala silat yang indah juga bahkan beberapa kali diterapkan dalam adegan pengusiran setan. Estetika seperti ini yang tampaknya belum pernah ditampilkan oleh film-film horor sebelumnya.

Suara “Kosmik”

Dari unsur keseramannya sendiri, “Qodrat” sebenarnya tidak menampilkan hal yang baru. Canggihnya sensor kamera saat ini membuat sineas horor mampu mengambil suasana temaram dengan cahaya sangat minim. Dalam beberapa adegan, film berdurasi 102 menit ini cukup mampu menampilkan kepekatan nir cahaya untuk membangun ketegangan, walaupun masih belum menandingi “Pengabdi Setan 2”.

Secara inheren, pembangunan ketegangan juga diperkuat dari naskah dan dialog yang alamiah. Akting para pemeran dapat meyakinkan penonton untuk bersimpati secara emosional.

Modal ini menjadi nilai plus yang mencegah film ini hanya menjadi sekadar horor teknikal. Sang protagonis utama juga diberikan nemesis, sosok iblis Bernama Assuala. Motivasi personal Qodrat serta balutan nilai religius yang menjadi nafas film ini membuat konflik yang dibabarkan dan diselesaikan menjadi lebih hidup dan berkesan bagi penonton.

Hal menarik lainnya adalah beberapa tata musik di film ini yang berbau kosmik. Gaya seperti ini dapat didengar di karya terbaru sutradara Scott Derrikcson “The Black Phone”. Bunyi-bunyian kosmik yang ditampilkan menambah nuansa kekosongan dan ketersendirian para tokoh film dan penonton saat menghadapi situasi pembangun kengerian. Saya berharap pendekatan efek suara seperti ini akan banyak diadopsi dalam film-film horor lokal selanjutnya.

Eksorsisme ala Lokal

Semua genre film horor yang mengandung unsur pengusiran setan pasti sedikit banyak akan berhutang kepada “The Exorcist”. Dalam film besutan tahun 1973 tersebut, semua pakem film bertema pegusiran setan seperti unsur religius, pemuka agama, persona iblis sebagai musuh bebuyutan si protagonis, hingga adegan akrobatik dan perabot terlempar telah ditampilkan.

Hal tersebut bukan berarti subgenre pengusiran setan akan cepat membuat penonton jemu. Toh film macam ‘Conjuring”, “Siccin”, hingga “Munafik” dari jiran tetap ditunggu oleh penikmat horor.

Tiada yang baru di bawah matahari. Inilah pentingnya sineas untuk memperkaya pustaka ide serta bersintesa memadukan hal yang telah ada untuk melahirkan karya yang segar. “Qodrat” bagi saya cukup memenuhi kriteria tersebut. Dengan pendekatan kasual ala adiwira John Constantine dan adegan aksi khas lokal, juga ditambah sisi teknis yang mumpuni, “Qodrat” layak untuk memuaskan ekspektasi. (DRA)

Tentang Penulis

Agus Ferdinand, biasa disapa Gusiq. Adalah penikmat semua jenis film, yang lebih menghargai sebuah film yang ditampilkan dalam layar lebar.

Kalau LSF bersabda “Tontonlah film sesuai usia”, maka Gusiq menambahkan “Tontonlah film sesuai ekspektasi”. Karena secara prinsip tidak ada film yang jelek, melainkan film yg tidak sesuai ekspektasi.

Selain film, Gusiq tertarik dengan desain, sains, sejarah, dan pemerhati perilaku-perilaku sosial populer.

Saat ini penulis berdomisili di Samarinda dan mengabdi di Ombudsman Republik Indonesia. Ikuti Gusiq dengan klik ini.

Ikuti Berita lainnya di

Bagikan
Advertisement

advertising

POPULER

Exit mobile version
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.