FEATURE
Kenapa Harus Bakar Jagung? Menguak ‘Ritual’ Asap yang Tiap Malam Tahun Baru di Indonesia
Kenapa pada saat merayakan tahun baru di Indonesia, identik dengan bakar jagung? Yuk menguak ritual asap yang tiap malam tahun baru selalu ada dan seperti jadi kebiasaan atau ritual wajib.
Coba amati dan ingat-ingat, kalau setiap malam 31 Desember tiap tahunnya, mulai pukul dari jam 8 malam sampai menuju dini hari dan berganti tahun, pasti mudah ditemui aktivitas bakar-bakaran. Mulai terasa bau asap arang, margarin leleh, dan sedikit aroma gosong yang bikin lapar.
Entah siapa yang memulai, membakar jagung, sosis, atau ayam seolah sudah jadi “rukun wajib” perayaan tahun baru di Indonesia. Padahal tidak ada aturan tertulis menu makanan untuk menemani malam tahun baruan. Bahkan banyak menu lain yang lebih praktis, bersih, dan tidak membuat mata pedih terkena asap.
Namun, justru di situlah seninya. Tradisi “bakar-bakar” tetap lestari karena alasan yang lebih emosional ketimbang sekadar urusan perut.
Seni Membunuh Waktu
Menunggu detik-detik pergantian tahun dari pukul 8 malam hingga tengah malam bisa terasa sangat panjang. Jika hanya duduk diam menonton televisi, rasa kantuk pasti menyerang sebelum pukul 12.
Aktivitas membakar jagung adalah cara paling efektif untuk “membunuh waktu”. Ada drama saat menyalakan arang yang sulit menyala, kesibukan mengoles bumbu hingga tangan lengket, hingga keriuhan mengomentari jagung yang gosong sebelah.
Proses itulah yang membuat mata tetap terjaga dan suasana menjadi hidup hingga kembang api meletus.
Momen Akrab Tanpa Gadget
Di hari biasa, orang-orang mungkin sibuk menunduk menatap layar ponsel masing-masing. Namun di depan bara api, gadget biasanya diletakkan. Tangan terlalu sibuk memutar jagung atau mengipas sate.
Secara organik, obrolan jadi mengalir. Mulai dari topik ringan, gurauan receh, hingga rencana tahun depan. Asap arang seolah meruntuhkan tembok formalitas antar-teman atau keluarga.
Jagung bakar yang harganya murah meriah berubah menjadi alat perekat sosial yang ampuh.
Mewah Tidak Harus Mahal
Alasan terakhir adalah inklusivitas. Tradisi bakar-bakar sangat demokratis. Bagi yang memiliki anggaran terbatas, jagung manis dan sosis curah sudah cukup untuk memeriahkan suasana.
Bagi yang lebih mapan, opsinya bisa ditingkatkan ke daging wagyu atau makanan laut (seafood).
Apapun bahannya, esensinya tetap sama yaitu kebersamaan. Di era modern ini, bakar jagung bukan sekadar soal rasa, melainkan tentang pengalaman.
Aroma arang yang memikat dan hangatnya bara api menjadi pengingat sederhana bahwa kebahagiaan menyambut tahun baru bisa didapat dari hal-hal kecil bersama orang terdekat. (ens)
-
SEPUTAR KALTIM2 hari agoKepala Kejaksaan Tinggi Kaltim Wanti-wanti OPD: Jangan Ada Titipan Proyek, Kalau Ada Lapor Saya!
-
GAYA HIDUP4 hari agoSiap-Siap! Puasa 2026 Ternyata Tinggal 2 Bulan Lagi, Catat Tanggalnya!
-
SEPUTAR KALTIM3 hari agoLantik 91 Pejabat Baru, Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud: Jangan Lelet, Wujudkan Gratispol dan Jospol!
-
BALIKPAPAN3 hari agoUMK Balikpapan Diusulkan Naik Lagi: Tahun 2026 Nambah Rp155 Ribu, Gaji Sektor Migas Tembus Rp4 Juta
-
BALIKPAPAN3 hari agoBalikpapan Siapkan Puluhan Event Sepanjang 2026: Pariwisata Digenjot Tanpa Musim Sepi, ini Jadwal Lengkapnya
-
SEPUTAR KALTIM3 hari agoBMKG Peringatkan “Seruakan Dingin Asia” Meningkat, Kaltim Waspada Hujan Sepanjang Pekan Natal
-
SEPUTAR KALTIM4 hari agoBanjir Kutim–Berau Tak Melulu Soal Tambang? Wagub Kaltim Buka Suara dan Bakal Cek Data JATAM
-
GAYA HIDUP1 hari agoAlarm Ramadan Sudah Bunyi! Manfaatkan Rajab dan Syakban Buat “Pemanasan” Biar Nggak Kaget

