SOSOK
Pascatragedi Pesawat Jatuh di Nunukan, Kisah Perjuangan Ayah Wagub Kaltara Bangun Bandara ST Padan Terangkat Lagi

Pada 1960-an, seorang guru muda menggerakkan masyarakat pedalaman Kalimantan, Kampung Binuang. Untuk menyulap hutan belantara menjadi bandara. Perjuangannya sempat diremehkan, namun berkat tekat kuatnya, Bandara ST Padan kini berdiri dan banyak memberi manfaat.
Saat Indonesia merdeka pada tahun 1945, Kampung Binuang yang dihuni oleh suku Dayak Krayan, masih jauh dari kata merdeka. Wilayah mereka yang terletak di tengah belantara Kalimantan sangat terisolir.
Diono, dalam catatannya di ytprayeh menuliskan keprihatinan kawasan Krayan ketika itu. Warga sekitar ia sebut tidak mendapatkan haknya sebagai warga Indonesia di masa awal kemerdekaan. Karena jarak kampung yang teramat jauh dari kota atau wilayah ramai.
“Ambil contoh hanya untuk mendapat satu liter minyak tanah untuk penerangan harus berminggu-minggu jalan kaki. Atau ingin anak-anak sekolah harus diantar jalan kaki berminggu-minggu juga, belum lagi kalau ada yang sakit butuh pertolongan ke rumah sakit. Rintangan yang masyarakat rasakan pada masa itu memang sangat sulit,” tulisnya.
Bahkan di tengah kesengsaraan itu, masyarakat sekitar sempat membantu tentara Indonesia berperang. Ketika Konfrontasi Malaysia pecah. Para warga dengan sukarela membantu membawakan peralatan perang. Daerah yang kini masuk dalam wilayah Nunukan, Kalimantan Utara itu, memang berada tak jauh dari Malaysia.
Di dalam situasi sulit itu, sosok Samuel Tipa Padan yang berprofesi sebagai guru punya pemikiran ‘radikal’. Ia ingin mendekatkan kampungnya dengan perkotaan. Agar kebutuhan hidup lebih mudah didapat. Keperluan sekolah dan berobat pun bisa lebih cepat. Dengan membangun bandar udara (bandara) perintis. Alias bandara kecil.
Perjuangan Samuel Tipa Padan
Samuel coba menyampaikan mimpinya membangun bandara di Ba Binuang (sekarang Desa Binuang) kepada masyarakat, tokoh adat, dan para pemuda. Respons yang didapat? Tidak terlalu menggembirakan.
Banyak yang beranggapan ide itu aneh. Membangun bandara di tengah belantara adalah hal yang mustahil. Namun beberapa warga mendukung. Mereka inilah yang menyalakan semangat Samuel untuk berjuang.
Berbekal restu dari kepala kampung, ia dan rekan-rekannya mulai melakukan survey lapangan. Di situ, masalah pertama datang. Binuang bukan daerah lapang, melainkan hutan lebat. Namun Samuel tak kehabisan akal. Ia menyuruh rekannya memanjat pohon paling tinggi di situ, lalu memasang kain di atasnya sebagai penanda. Pohon itu kemudian menjadi acuan awal, untuk mencari titik yang pas untuk landasan pacu.
Tempat sudah disepakati, masalah baru kemudian hadir. Yakni Samuel harus pindah tugas ke Pa Upan. Kini ada jarak dan waktu yang memisahkan pemuda itu dengan kampungnya.
Helikopter Perang
Saat Konfrontasi Indonesia-Malaysia pecah pada tahun 1965, pasukan dari Indonesia melewati kampung itu untuk menuju pertabatasan di Long Bawang. Pernah suatu ketika helikopter pengangkut logistik perang mendarat di Ba Binuang. Tapi karena keterbatasan tempat mendarat, heli menurunkan logistik di dekat rumah warga. Akibatnya banyak atap rumah yang rusak terkena angin dari kibasan baling-baling helikopter.
Masyarakat lalu teringat dengan ide Samuel. Mereka lantas menuju lokasi cikal bandara yang ditentukan Samuel dkk, lalu menebangi pohoh besar di sana. Membuat seperti lapangan, dan merancang helipad dengan kayu bulat berjejer diikat rotan. Tempat mendarat beres, namun helikopter yang dinanti tidak pernah datang lagi setelahnya.
Samuel Tipa Padan Tak Padam
Di tengah kesibukannya menjadi guru di lain kampung, Samuel selalu menyempatkan pulang ke Binuang. Untuk mengunjungi keluarganya, sekaligus menjaga asa pembangunan bandara supaya tetap ada.
Dukungan yang ia dapatkan mulai mengalir. Warga mulai memahami pentingnya bandara kecil untuk desa mereka. Singkat cerita, dibuatlah panitia khusus untuk persiapan dan pembangunan bandara.
Para warga dengan memanfaatkan parang dan cangkul, mulai membuat bandara itu dengan gotong royong. Sampai selesai, tak satupun yang menuntut bayaran.
Bandara itu akhirnya selesai dan menjadi kebanggaan warga Binuang. Hingga kini, bandara tersebut makin bagus setelah mendapat perhatian Pemerintah Pusat. Walau tak langsung memberi dampak pada Kampung Binuang. Namun perjuangan Samuel membuat bandara agar kampungnya tak terisolir dianggap sebagai inspirasi besar.
Makanya, lapangan udara itu lantas diberi nama Bandar Samuel Tipa Padan, untuk mengenang dan menghargai kegigihan ayahanda Yansen Tipa Padan; wakil gubernur Kalimantan Utara saat ini.
Kisah perjuangannya kembali terangkat setelah satu unit pesawat pengangkut sembako. Yang lepas berangkat dari Tarakan menuju Bandara ST Padan terjatuh di belantara Binuang. Sosok pilot pesawat Smart Air itu selamat setelah 3 hari. Karena membuat api unggun yang menciptakan asap SOS. Sementara teknisi atau copilotnya meninggal dunia. (dra)


-
KUKAR5 hari yang lalu
Babak Baru Kasus Eks Bupati Kukar Rita Widyasari, KPK Geledah Rumah Ketua PP, Sita 11 Mobil Mewah
-
SAMARINDA5 hari yang lalu
Cap Go Meh Art and Culture Festival: Ada Bazar Makanan Vegetarian hingga Panggung Kesenian
-
SAMARINDA5 hari yang lalu
Pengunjung Perpustakaan Kota Samarinda Meningkat, Kini Buka hingga Malam Hari
-
HIBURAN4 hari yang lalu
Tiba-Tiba Sparring Vol.3 Hadir Lebih Meriah, 20 Fighter Amatir dan Profesional Siap Tanding
-
POLITIK5 hari yang lalu
Pelantikan Kepala Daerah Diundur 20 Februari, Calon Gubernur Kaltim Berpotensi Ikut Dilantik
-
NUSANTARA5 hari yang lalu
Anggaran Transfer ke Daerah Resmi Dipotong Rp 50,59 Triliun
-
SAMARINDA2 hari yang lalu
Edu Park Samarinda: Belum Rampung, Tetap Jadi Favorit Anak-Anak
-
SAMARINDA4 hari yang lalu
Anggaran Pendidikan Kena Pangkas, Guru Besar Unmul: Harus Pilah Prioritas