OPINI
Kembalikan Polemik Kolam Bekas Tambang Jadi Sumber Air PDAM Bontang ke Sains

Menengahi pro kontra pemakaian kolam bekas tambang PT IMM untuk sumber air baku PDAM Bontang. Pengamat lingkungan Kaltim mengingatkan semua pihak untuk memakai pendekatan impact to be property. Karena menutup atau memanfaatkan lubang tambang itu sama-sama memiliki keuntungan dan kerugian.
Sebuah Opini dari Ahmad A. Arifin
ISU Kota Bontang krisis air sudah bergulir dalam beberapa tahun terakhir. Pemkot pun sudah mencari cara alternatif agar masalah ini bisa tertangani. Sebelum krisis yang dikhawatirkan itu betulan terjadi.
Sebagai gambaran awal, sebagian besar wilayah Bontang adalah lautan, daratannya yang tidak banyak itu pun, beberapanya berupa daerah pesisir. Sehingga dengan peningkatan jumlah manusia di sana. Cepat atau lambat, air tanah di Bontang tak akan mampu memenuhi kebutuhan.
Beberapa tahun lalu, PT Indominco Mandiri (IMM), menawarkan kolam bekas tambangnya untuk dijadikan sumber air baku PDAM setempat. Tawaran ini mendapat sambutan hangat dari pemkot. Sekaligus bikin masyarakat kaget minta ampun. Emang gak bahaya ta?
Kekhawatiran ini sebenarnya berdasar juga. Karena kolam bekas tambang memiliki kandungan kimia yang berbahaya buat makhluk hidup.
Untuk menjawab keraguan itu, PT IMM bersedia menunjukkan ke publik. Bahwa jauh sebelum menawarkan beberapa kolamnya ke pemkot. Mereka sudah menggunakan kolam bekas tambangnya untuk sumber air bersih perusahaan.
PT IMM tidak menggunakan jasa Perumdam Tirta Taman untuk memenuhi kebutuhan air bersih di kantornya. Karena sudah memiliki WTP sendiri. Mereka mengolah air dari kolam sendiri, untuk kebutuhan sendiri.
Keberanian mereka menawarkan kolamnya, selain sudah membuktikannya sendiri. Mereka juga mengklaim sudah melakukan uji kualitas air dari lab luar, alias pihak ketiga. Hasilnya, positif. PH air memenuhi standar kelayakan. Asumsi kalau air kolam bekas tambang itu asam dan mengandung kimia berbahaya terbantahkan.
Pada dasarnya, setiap kolam tambang memiliki kandungan yang berbeda. Karena tergantung volume, jenis bahan kimia yang dipakai saat eksploitasi, serta sudah berapa lama kolam itu tidak ‘beroperasi’. Semua faktor itu mempengaruhi.
Sementara kolam bekas tambang PT IMM ini diklaim sudah belasan tahun menjadi danau tadah hujan.
Gubernur Kaltim Isran Noor juga sudah datang langsung ke kolam yang dimaksud. Dan bilang kalau PH airnya aman, layak konsumsi. Namun dia menekankan perlu kajian lebih lanjut untuk memastikan lagi bahaya tidaknya air itu dikonsumsi masyarakat. Pada prinsipnya, Isran merestui wacana itu jika memang terbukti aman lewat kajian lanjutan.
Pemprov sendiri sudah bersedia menyiapkan anggaran fantastis untuk pembangunan Instalasi Pengelolaan Air (IPA)-nya. Namun masih menunggu Pemkot Bontang memiliki lahan. Karena tanpa lahan, pemprov tidak bisa kasih bantuan.
Sementara pemkot, masih menunggu hasil kajian dari Kementerian Lingkungan Hidup. Pun PT IMM mesti mengubah status lahan dua kolam yang mereka tawarkan itu. Dari lahan konsensi pertambangan jadi lahan sumber air baku. Masih tunggu-tungguan.
Kolam bekas tambang ini sendiri bukan satu-satunya alternatif yang dipunya pemkot. Ada 4 bendungan ataupun waduk di sekitar situ yang bisa dimanfaatkan. Bahkan untuk jangka yang lebih panjang. Namun lagi-lagi, semua proyek masih berstatus on going. Masalahnya, masih tunggu-tungguan, terutama soal pembebasan lahan.
Keberatan Aktivis Tambang
Wacana ini mendapat respons negatif dari para aktivis tambang di Kaltim. Dasar mereka jelas, yakni kolam tambang harus ditutup oleh perusahaan. Sesuai aturan yang berlaku. Reklamasi adalah kewajiban mutlak.
Jika satu kolam tambang diperbolehkan untuk pemanfaatan lain, perusahaan lain akan ikut-ikutan. Semacam untuk alibi melepas tanggung jawab reklamasi.
Selain itu, mereka mengklaim sudah melakukan pengujian sampel air di beberapa kolam bekas tambang. Hasilnya tidak layak pakai. Sehingga mereka menentang keras wacana penggunaan kolam bekas tambang untuk sumber air baku.
Mereka lantas mendorong penggunaan alternatif yang lebih ramah lingkungan. Seperti penggunaan bendungan, bendali, dan waduk. Alternatif yang sebenarnya sudah dilirik juga oleh Pemkot Bontang.
Tanggapan Pengamat Lingkungan
Pro kontra isu ini sebenarnya sudah lama terjadi. Namun pekan ini kembali naik. Mungkin karena sudah mendekati realisasi.
Saya pun menghubungi seorang kawan, ah, beliau terlalu sepuh untuk disebut kawan. Lebih tepatnya guru. Karena memang saya sering belajar ilmu lingkungan dari sosok satu ini.
Namanya Yustinus Sapto Hardjanto. Saya menyapanya Mbah Yus. Senin siang kemarin saya WhatsApp. Menanyakan dia pengamat sekaligus aktivis lingkungan yang setuju pemanfaatan bekas kolam tambang jadi hal lain. Atau tim yang mendorong harus penutupan lubang.
Jawabannya, “He, he, he. Nggak bisa hitam putih.” Maksudnya, satu sikap tidak bisa mewakili semua kasus. Seperti, kalau lapar ya makan. Setiap kasus kelaparan, solusinya adalah makan. Sementara kasus lubang tambang tidak begitu.
Menurut Mbah Yus, lubang tambang bisa saja memakai pendektan impact to be property. Alias memanfaatkan yang sudah rusak, menjadi sarana yang memiliki nilai manfaat.
“Misalnya sebagai tapak industri yang butuh water cooling. Wisata juga boleh, tapi harus disadari bahwa itu wisata penuh risiko,” katanya.
Saya lalu mengarahkan topik pembicaraan ke intinya. “Kalau untuk sumber air baku?” Dia jawab, “Bisa, tapi mesti nunggu waktu dulu.”
Maksudnya, kolam bekas tambang yang sudah ‘tua’ berpotensi dimanfaatkan airnya.
Maka, potong Mbah Yus, untuk menyudahi pro kontra di Bontang itu. Lakukan saja uji air oleh pihak yang berkompeten. Dikawal bersama. Hasilnya diketahui bersama. Kalau layak, ya kenapa tidak dimanfaatkan? Terlebih jika situasinya mendesak. Entah untuk solusi jangka menengah atau panjang. Kalau tidak layak, ya jangan diteruskan. Sesederhana itu.
Saya penasaran, sebagai aktivis, kenapa dia tidak saklek pada prinsip penutupan kolam tambang itu mutlak dan harus dilakukan. Jawabannya bikin saya yang pernah kuliah di Teknik Pertambangan, tapi tidak pernah kerja di tambang ini kaget.
“Menutup lubang tambang, bisa merusak dua kali.” Hah? Maksudnya?
“Pertama, membuat sebuah dataran berlubang. Kedua, untuk menutup lubang itu bisa merusak gunung (dataran lain) rusak.”
Sambil mengingat-ingat pelajaran di masa kuliah. Saya menyebut teknik pertambangan cut and fill.
Penjelasan sederhananya begini. Sebuah dataran dilubangi, untuk diambil batubaranya. Tanahnya, dipindahkan sementara ke tempat lain. Dipisahkan berdasarkan karakteristiknya. Dari top soil, sampai lapisan terbawahnya.
Sudah beres di lubang pertama. Lanjut penambangan ke lubang kedua. Tanah dari lubang kedua ini untuk menutup lubang pertama. Juga berdasar susunan tanahnya. Dan begitu seterusnya, sampai tanah dari lubang pertama, dipakai untuk menutup lubang terakhir.
Setelah itu baru masuk upaya reklamasi lanjutan, mengembalikan tumbuhan dan hewan yang ada sebelum dibabat. Hingga kembali seperti rona awal.
Mbah Yus lalu bilang, “Lapisan batubaranya lebih tebal dari top soil. Galian bisa puluhan meter loh. Pasti terjadi defisit.”
Lah, benar juga ya. Galian tambang itu kan, ada tanah dan batubara. Jika menggunakan metode cut and fill tadi. Yang tanahnya diurug ke lubang lainnya. Volumenya kan berbeda ya.
Katakanlah lapisan tanahnya 10 meter. Lalu batubaranya setebal 15 meter. Maka butuh tanah dengan volume – setebal 25 meter untuk menutup lubang itu. Agar kembali ke rona awal. Maka untuk menutup defisitnya, harus menggali tanah dari area lain.
Dan jika menggali artinya merusak. Berarti betul sudah pendekatan yang disampaikan Mbah Yus ini.
Kembalikan pada Sains
Kembali ke pernyataan awal Mbah Yus. Penanganan lubang tambang ini tidak bisa hitam putih. Karena lubang tambang memiliki irisan dengan bisnis, keselamatan, lingkungan hidup, politik, dan lainnya.
Maka setiap lubang harus dikaji dulu. Jika bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih besar. Sah-sah saja dilakukan. Begitu juga sebaliknya. Kalau lubang tambang itu tidak bisa dimanfaatkan ke industri turunan. Dan membuat masalah lebih besar. Ya harus ditutup.
Dalam konteks lubang tambang PT IMM itu. Mbah Yus menekankan, kembalikan saja ke sains. Karena sains adalah ilmu pasti. “Kalau hasil ujinya, secara kimia, fisika, dan biologi layak. Ya oke saja.”
“Jangankan kolam tambang. Air sungai kita juga kalau diukur, parameternya juga banyak yang nggak layak untuk air baku. Dan umumnya air di badan air Kalimantan memang asam.”
“Lubang tambang itu seperti sumur besar. Makanya ada airnya terus. Dan sekali lagi, kalau hasil tesnya lulus, lebih banyak asas manfaatnya. Ya bisa saja dipakai jadi sumber air baku.”
“Uji air menggunakan sains. Kalau layak, mau sreg tidak sreg, ya harus terima,” tegasnya.
Lagian, upaya pemanfaatan ini bukanlah yang pertama di dunia, bahkan di Kaltim. Sebelumnya, Kutim sudah menggunakan kolam bekas tambang PT KPC. Di Kukar juga sudah memanfaatkan aset milik PT Mahakam Sumber Jaya.
Satu hal yang ingin ia tekankan ialah, soal kepemilikan aset. Lahan kolam tambang itu menurutnya harus klir. Supaya bisa dipertanggungjawabkan. Dan tidak menimbulkan konflik yang lebih besar di kemudian hari. Saya sepakat dengan berbagai pandangan dari Mbah Yus ini. (dra)

-
SEPUTAR KALTIM3 hari ago
Konsumsi Ikan Masyarakat Kaltim Naik Jadi 59,75 Kg per Kapita per Tahun
-
SEPUTAR KALTIM5 hari ago
Putra Kaltim Catat Sejarah, Jadi Pembentang Bendera Pusaka di Istana Merdeka
-
SAMARINDA5 hari ago
Ungu dan Setia Band Guncang Samarinda di Malam Kemerdekaan
-
SEPUTAR KALTIM5 hari ago
Harumkan Nama Daerah, Kwarda Kaltim Ukir Prestasi di Ajang Pramuka Nasional
-
EKONOMI DAN PARIWISATA5 hari ago
Harga TBS Sawit di Kaltim Naik, Petani Plasma Ikut Tersenyum
-
EKONOMI DAN PARIWISATA4 hari ago
Atasi Backlog 250 Ribu Unit, Kaltim Tanggung Biaya Administrasi Perumahan
-
SEPUTAR KALTIM3 hari ago
Pemprov Kaltim Tegaskan Program Gratispol Umrah untuk Marbot Berjalan Bertahap dan Tepat Sasaran
-
SEPUTAR KALTIM5 hari ago
Sakti Gemas Diluncurkan, Layanan Publik Kaltim Kini Satu Genggaman