Connect with us

SAMARINDA

DPRD Samarinda: Konflik Jual Beli Buku Sekolah Adalah Dampak dari Banyaknya Masalah di Pendidikan

Diterbitkan

pada

Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda Sri Puji Astuti. (Nisa/Kaltim Faktual)

Legislator Samarinda Sri Puji Astuti menilai polemik penjualan buku di sekolah selalu terjadi karena anggaran untuk menggratiskan buku tidak cukup.

Meski jual beli buku di lingkungan sekolah sudah dilarang, namun pungutan itu tak sepenuhnya hilang. Malah selalu muncul setiap tahun ajaran baru. Klaim sekolah gratis oleh pemerintah dipertanyakan banyak pihak.

Masalah itu kembali ramai dibahas, lantaran muncul protes dari ibu-ibu di Samarinda, yang mengeluhkan harga jual buku yang tinggi. Padahal sekolahnya negeri. Harganya bisa Rp600 ribu sampai Rp1,5 juta.

Secara aturan, larangan jual beli buku itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 pada Pasal 181 yang terdiri atas 4 butir. Tertuang dalam butir a dan d yang berbunyi:

Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang:

a. menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan; 

d. melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Pada praktiknya, jual beli buku tetap terjadi, meski transaksinya tidak langsung dari orang tua ke sekolah.

Baca juga:   Perwali Penertiban BBM Eceran di Samarinda Sudah Diteken Andi Harun, Pelaksanaannya Tunggu Edaran

Pemkot sendiri kini tengah menelusuri praktik jual beli buku itu, setelah mengantongi laporan dan bukti dari orang tua siswa. Sekaligus mempersiapkan solusi jangka panjang untuk memutus rantai jual beli buku di sekolah.

Berbagai Masalah Pendidikan Lainnya

Telah menjadi polemik tahunan, Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda Sri Puji Astuti menilai adanya jual buku di sekolah yang masih terjadi saat ini, lantaran ada beberapa masalah juga di baliknya.

“Apalagi ada perubahan kurikulum dari KTSP, K13, lalu Kurikulum Merdeka ini yang menyebabkan pengadaan buku sering telat dari pusat,” jelasnya belum lama ini.

Lanjut Puji, perubahan kurikulum itu juga kerap diiringi dengan ketidakmerataan perubahan di kelas. Misalnya kelas 1-3 sudah ganti kurikulum, sementara kelas 4-6 nya masih menggunakan kurikulum lama.

Pola tersebut dinilai Puji merugikan masyarakat. Sebab banyak masyarakat dan orang tua siswa yang masih belum memahami pola tersebut. Hal itu membuat mekanisme pengadaan buku, ikut menjadi bermasalah.

Baca juga:   Komisi IV DPRD Samarinda Minta Pemkot Patuhi Regulasi Tak Jual Buku Sekolah

Anggaran Tidak Cukup

Selain itu, sesuai Petunjuk Teknis (Juknis) yang ada, pengadaan buku dari dana BOS dipatok maksimal hanya 15 persen. Namun itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan buku seluruh anak sekolah, SD dan SMP.

“Kalau 300 anak, kali 900 ribu per anak, kali 15 persen. Cukup nggak beli buku paket? Saya hitung maksimal 2 buku atau 1 buku per anak.”

Anggaran pemerintah daerah yang berbeda-beda, juga belum mampu meng-cover kebutuhan pendidikan. Diketahui, pemerintah daerah harus mengalokasikan dana 20 persen mandat dari APBD untuk pendidikan.

Misalnya anggaran APBD Pemerintah Kota Samarinda tercatat Rp5,7 triliun, maka seharusnya ada alokasi anggaran Rp1,4 triliun untuk pendidikan. Namun ketika dihitung, masih belum mampu meng-cover seluruh kebutuhan.

“Anggaran Rp960 miliar sekian, dari situ, untuk bayar tunjangan guru ASN sekitar Rp660 miliar, belum lagi sertifikasi guru, belum dana BOP untuk PAUD. Jadi Rp960 miliar itu masih sangat kurang,” tambahnya.

Baca juga:   Dishub Samarinda Bakal Panjangin Barrier Simpang Tiga Planet Swalayan Sampai ke Simpang Jalan Camar

“Anggaran pendidikan itu juga tersebar, tidak hanya di Disdik. Ada juga di PUPR, di Dinas Perpus, DP2PA, dan lainnya,” kata Puji.

Sehingga Puji meminta kepada DPR RI agar tidak menyamaratakan anggaran pendidikan di daerah. Puji minta lebih fleksibel disesuaikan dengan kemampuan anggaran masing-masing daerah.

Sekolah Harus Transparan

Lanjut Puji, transparansi anggaran juga perlu dilakukan oleh sekolah. Jumlah anggaran yang ada, lalu pengalokasiannya. Hingga transparansi dana Bantuan pendidikan dalam bentuk KIP dan PIP. Datanya dibuka ke publik.

“Yang tidak dipertanyakan dana KIP PIP itu kan juga untuk pembelian buku, itu kemana dananya? kan masuk ke siswa, nah itu kan tidak pernah dibuka ya.”

“Pemerintah bisa memnafaatkan kerja sama dengan pihak swasta juga dalam bentuk CSR. Banyak pola yang bisa dilakukan,” pungkasnya. (ens/fth)

Ikuti Berita lainnya di Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah Logo-Google-News-removebg-preview.png

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.