Connect with us

KUBAR

Jadi Saksi di Sidang Korupsi KWh Listrik Kubar; Sahadi, Yansel, hingga Noratim Bantah Terima ‘Pembagian’ Uang dari Terdakwa

Diterbitkan

pada

Noratim dan Sahadi membantah keterangan terdakwa SA yang mengaku menyetorkan uang pada mereka. (KP/IST)

Satu per satu nama yang disebut oleh terdakwa kasus dugaan korupsi KWh listrik Kubar, SA, ikut menerima pembagian uang ‘haram’ dihadirkan ke persidangan. Tiga di antara saksi kunci, yakni Sahadi, Yansel, hingga Noratim membantah dengan tegas tudingan SA di hadapan majelis hakim.

Pada Selasa, 29 Oktober 2024 lalu, Pengadilan Negeri HI/ Tipikor Samarinda mendatangkan 7 saksi penting atas perintah majelis hakim. Untuk dicecar ihwal keterkaitan mereka di kasus korupsi yang merugikan negara lebih dari Rp5 miliar tersebut.

Eks Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kubar Sahadi menjadi saksi yang pertama diperiksa. Mulanya ia diminta oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menjelaskan mekanisme penganggaran hingga proses pencairan.

Kemudian ia dimintai keterangan soal keterlibatannya dalam kasus korupsi tersebut. Di mana terdakwa SA mengaku telah menyetor uang sebanyak Rp816 juta kepada Sahadi melalui staf BKAD.

Sahadi pun dengan tegas menampik tudingan itu. “Tidak tahu perihal uang yang dimaksud terdakwa SA,” tegas Sahadi, mengutip dari Kaltimpost.

Terdakwa SA dan penasihat hukumnya keberatan dengan keterangan Sahadi. Dan meminta pada majelis hakim untuk melakukan pemeriksaan percakapan telepon ke pihak operator pada tanggal yang dimaksud terdakwa.

Terpisah, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Christhean Arung, melalui keterangan tertulis sehari setelah sidang mengatakan bahwa para saksi yang dihadirkan kali ini, diharapkan bisa mengurangi benang kusut kasus korupsi KWh listrik di Kutai Barat.

“Hadirnya Sahadi sebagai saksi sangat penting untuk mengungkap lebih dalam kasus ini,” ujarnya.

Mengenai dugaan setoran uang, Christhean Arung mengatakan bahwa berdasar pengakuan Sahadi, uang itu beda peruntukan.

Baca juga:   Pencairan Beasiswa Kaltim Tertunda, Begini Penjelasannya

“Uang tersebut ditujukan untuk pengembalian temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang ditindaklanjuti di inspektorat daerah,” jelas Arung pada tvone.

Karena terjadi perbedaan keterangan, majelis hakim pada sidang tersebut telah melakukan konfrontir guna menimbang keterangan siapa yang benar.

Yansel Berutang, Bukan Terima ‘Jatah’

Sementara itu, eks legislator Kubar Yansel membenarkan bahwa ia merupakan salah satu anggota dewan yang mengusulkan pengadaan KWh listrik untuk masyarakat kurang mampu. Namun terkait besaran anggaran dan teknisnya, ia mengaku kurang tahu menahu.

“Sebab saat pembahasan dilakukan secara ‘gelondongan,” akunya.

Yansel juga disebut telah menerima ‘jatah’ sebesar Rp1,1 miliar dari SA. Seperti halnya Sahadi, ia menolak keras pernyataan itu. Menurutnya, uang yang ia terima kala itu adalah utang.

“Itu uang saya pinjaman untuk teman saya Supri yang pinjam ke terdakwa SA melalui saya,” ungkapnya.

Terdakwa SA dan penasihat hukumnya lagi-lagi menyatakan keberatan terhadap keterangan saksi Yansel. Ia menyebut bahwa uang itu ia berikan tidak dalam urusan utang piutang.

Kembali ke penjelasan JPU Christhean Arung, perbedaan keterangan itu akan menjadi bekal bagi pihaknya untuk menelusuri kebenaran kasus ini.

“Menurut terdakwa SA, uang Rp1,1 miliar tersebut bukan pinjaman. Kami akan terus mendalami keterangan para saksi dan mengumpulkan bukti-bukti tambahan untuk mengungkap kebenarannya,” tegasnya.

Saksi lainnya yang juga mantan anggota DPRD Kubar Paul Vius juga dicecar berbagai pertanyaan oleh JPU dan Majelis Hakim terkait dana aspirasi dewan.

Baca juga:   Kampanye AHJI Kerap Dibanjiri Ibu-Ibu, Ahmad Syaiful: Tanda-Tanda Kemenangan

Giliran Noratim yang Bersaksi

Bergeser ke sidang yang sama pada Sabtu, 2 November 2024. Giliran eks anggota DPRD Kubar, Noratim yang menjadi saksi. Ia disebut terdakwa menerima Rp400 juta dalam kasus tersebut. SA, pada sidang sebelumnya mengaku menyetorkan uang pada Noratim atas perintah Yansel. Pemberian uang itu, kata SA, dilakkan di Kantor DPC Demokrat Kubar.

Noratim membenarkan bahwa memang ada pertemuan dengan SA, tapi ia menampik telah menerima uang darinya.

“Saat itu memang kami pernah bertemu di kantor DPC, tapi tidak ada pembicaraan terkait uang, baik pembicaraan langsung maupun melalui telepon,” ungkap Noratim kepada Kaltimpost.

Kata Noratim, JPU dan majelis hakim sempat mengonfrontir keterangannya dengan terdakwa SA. Tapi ia kukuh menampik telah menerima uang dari SA.

“Sebab memang saat itu yang dibicarakan adalah persoalan partai, terdakwa SA merupakan salah satu pengurus DPC,” pungkasnya.

Memungkinkan Muncul Tersangka Baru

Majelis hakim sendiri, menurut Arung, masih mendalami kasus ini dengan mendengar keterangan dari saksi-saksi. Mempertimbangkan fakta-fakta yang didapat dalam persidangan, ia mengungkapkan bahwa masih memungkinkan muncul tersangka baru, selain SA selaku penyedia barang serta RH selaku PPK Kabupaten.

“Saksi-saksi yang dihadirkan hari ini memberikan keterangan yang sangat berharga. Namun, kami masih membutuhkan keterangan dari saksi ahli untuk memperkuat bukti-bukti yang ada,” ujar Arung menirukan pernyataan majelis hakim.

“Kami akan terus melakukan penyelidikan dan pengembangan kasus ini. Jika ditemukan bukti-bukti yang cukup, maka akan ada tersangka baru.”

Baca juga:   Puluhan Spanduk Kampanye Kotak Kosong Dicopot Satpol-PP, Aliansi Lapor ke Bawaslu Samarinda

“Kami optimis kasus ini akan segera terungkap dan para pelaku akan mendapatkan sanksi yang setimpal,” pungkasnya.

Tentang Korupsi KWh Listrik Kubar

Kasus ini terjadi pada tahun 2021 lalu, di mana Pemkab Kubar menyalurkan dana hibah sebesar Rp10,7 miliar untuk pemasangan meteran listrik bagi masyarakat kurang mampu. Uang sejumlah itu disebar ke 5 yayasan, yakni IA, AMS, SBI, PVS, dan yayasan PIS.

Anggaran hibah ini ditetapkan melalui DIPA di Sekretariat Daerah Kabupaten Kutai Barat bidang Kesejahteraan Rakyat dan Sosial (Kesrasos) dan dilaksanakan oleh RH selaku PPK.

Namun pemasangan KWH meter itu ternyata tidak dilaksanakan secara langsung oleh pihak yayasan sebagai penerima hibah melainkan menggunakan jasa penyedia.

Ini adalah awal mula terjadinya masalah. Karena ternyata, pemasangan KWH tidak sesuai semestinya. Ada beberapa cara yang dilakukan pihak-pihak yang terlibat untuk mencari keuntungan lebih. Pertama, melakukan mark up harga bahan dan jasa. Kedua memasang alat yang tidak sesuai RAB, sehingga ketika terpasang tidak bisa digunakan. Dan ketiga, melakukan laporan fiktif, ngakunya sudah dipasang tapi ternyata di lapangan tidak ada.

SA selaku penyedia barang telah ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus ini. Perannya juga vital dalam dugaan praktik korupsi berjamaah ini, karena ia mengaku membagikan uang hasil korupsi ke beberapa pihak. Sementara RH menjadi terdakwa karena tetap mencairkan uang meskipun pihak yayasan tidak membuat laporan yang semestinya.

Taksiran kerugian negara dalam kasus ini adalah sebesar Rp5,2 miliar. (dra)

Ikuti Berita lainnya di Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah Logo-Google-News-removebg-preview.png

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.