Connect with us

POLITIK

CALS Sebut Jokowi dan KIM+ Dalang Pembangkangan 2 Putusan MK soal Pilkada: Hentikan Revisi atau Masyarakat akan Boikot!

Diterbitkan

pada

Ilustrasi: CALS menduga keinginan presiden memajukan Kaesang ke Pilkada Jateng menjadi penyebab perlawanan dari DPR ke MK. (IST)

Constitutional and Administrative Law Society (CALS) meminta Presiden Jokowi dan DPR dalam hal ini KIM+ untuk menghentikan upaya pembangkangan konstitusi. Lewat Revisi UU Pilkada hanya untuk menyuburkan praktik koalisi gemuk dan dinasti politik.

Sedang ramai di jagad internet soal Baleg DPR RI yang membentuk Panja UU Pilkada untuk merevisi 2 putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas dukungan partai politik untuk mengusung calon di pilkada, dan batas usia calon gubernur, bupati, wali kota, dan para wakilnya.

Untuk diketahui, pada Senin, 19 Agustus 2024 kemarin, MK membacakan putusan terbaru terkait ambang batas pencalonan pilkada. MK menyatakan penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon melalui partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah yang bersangkutan. Sehingga partai yang tak mendapatkan kursi, bisa berkoalisi dan mengusung jagoan di pilkada dengan modal raihan suara di Pemilu 2024 lalu.

Adapun ambang batas pencalonan kepala daerah adalah sebagai berikut:

Selain itu, Baleg DPR dan pemerintah disebut tengah berupaya menggagalkan putusan MK terkait batas usia calon kepala daerah. Yang mana MK menetapkan calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia minimal 30 tahun saat penetapan calon oleh KPU.

Sementara DPR dan pemerintah ingin batas usia 30 tahun untuk cagub/cawagub dan 25 tahun untuk bupati, wali kota, dan wakilnya, dihitung saat pelantikan. Berbagai sumber menyebutkan bahwa Presiden Jokowi dan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM+) adalah pihak yang menginginkan aturan itu diubah, demi memuluskan langkah Kaesang Pangarep di Pilkada Jawa Tengah. Putra bungsu presiden diketahui baru akan berusia 30 tahun pada Desember 2024 mendatang.

Baca juga:   Kenalan dengan Sosok Pembawa Baki Paskibraka HUT RI di IKN, Ternyata Asal Samarinda

Bermula dari Pilpres 2024

Apa yang menjadi keributan hari ini, sebenarnya bermula dari masa pencalonan presiden dan wakil presiden tahun lalu. Saat itu, MK yang diketuai Anwar Usman memutuskan mengganti aturan usia presiden dan kepala daerah dari minimal 40 tahun menjadi 30 tahun.

Keputusan kontroversial ini melanggengkan langkah Gibran Rakabuming menjadi wakil presiden Prabowo Subianto, yang diusung oleh KIM.

Pilpres selesai, hadir lah pilkada. KIM dengan tambahan beberapa partai dari pengusung capres lain (jadi KIM+), membentuk koalisi super gemuk di level daerah.

Koalisi ini membuat pilkada di beberapa daerah kocar-kacir, misalnya di Jakarta, termasuk juga Kalimantan Timur. Lewat cara ini, KIM+ memungkinkan memenangkan pilkada dengan mudah. Karena calon lawan yang tak sempat mendaftar via perorangan, jadi tidak memiliki perahu.

Belakangan, timbul lagi keributan soal usia. Batas minimal 30 tahun dimaknai ganda; saat penetapan calon dan pelantikan. Untuk yang satu ini, MK sudah menetapkan bahwa usia 30 tahun berlaku saat penetapan calon.

Baca juga:   Cerita dari Petugas Upacara Kemerdekaan 17 Agustus 2024 di Samarinda: Haru, Bangga, hingga Khawatir

CALS Minta Presiden dan KIM+ Berhenti Lawan Konstitusi

CALS menilai Presiden Joko Widodo dan KIM+ hendak menghalalkan segala cara untuk mempertajam hegemoni kekuasaan koalisi gemuk dan gurita dinasti politik dalam Pilkada 2024.

Upaya pengabaian (putusan MK) ini dilakukan untuk mengakali Pilkada 2024 agar di sejumlah daerah, terutama Daerah Khusus Jakarta, dapat didominasi KIM+ tanpa kandidat kompetitor yang riil. Dan memuluskan jalan putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah meskipun belum memenuhi syarat usia pencalonan kepala daerah.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah, melalui keterangan resmi CALS. Mengatakan bahawa Presiden Joko Widodo beserta segenap partai politik pendukungnya tengah mempertontonkan pembangkangan konstitusi dan pamer kekuasaan yang eksesif tanpa kontrol yang berarti dari lembaga legislatif. Seolah ia merupakan hukum, bahkan melebihi hukum dan sendi-sendi konstitusionalisme.

“Rezim yang otokratis ini kembali melanggengkan otokrasi legalisme untuk mengakumulasikan kekuasaan dan mengonsolidasikan kekuatan elit politik hingga ke level pemerintahan daerah,” ujarnya, Rabu 21 Agustus 2024.

Lanjut Herdi, upaya demikian mendelegitimasi Pilkada 2024 sejak awal, sebab aturan main pilkada diakali sedemikian rupa untuk meminimalisasi kompetitor dengan menutup ruang-ruang kandidasi alternatif, memborong dukungan koalisi gemuk partai politik, dan memunculkan kandidat boneka agar mengesankan kontestasi pilkada berjalan dengan kompetisi yang bebas, adil, dan setara.

Baca juga:   Peralta dan Furtado Sudah Tersedia saat Borneo FC Bertamu ke Markas Arema FC

“Masih lekat di benak masyarakat bagaimana Pemilihan Umum Tahun 2024 dibangun dengan fondasi manipulasi, pelanggaran hukum, dan pelanggaran etika yang terstruktur, sistematis, dan masif.”

“Presiden Joko Widodo dan partai pendukungnya menggunakan cetak biru serupa untuk melanggengkan dinasti politik yang dilanjutkan oleh putranya, melalui perombakan hukum secara instan dengan menyalahgunakan institusi demokrasi, yaitu mengotak-atik syarat usia calon kepala daerah agar sesuai dengan figur yang akan diusung,” imbuhnya.

Seruan Boikot Pilkada

Putusan MK sejatinya bersifat final dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Namun jika Presiden Jokowi dan partai pendukungnya terus melawan konstitusi, CALS menyebut jika cara melawan baliknya adalah perlawanan dari masyarakat.

Oleh karena itu, Constitutional and Administrative Law Society menyerukan:

1. Presiden dan DPR menghentikan pembahasan Revisi UU Pilkada dan mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024;

2. KPU menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024;

3. Jika Revisi UU Pilkada dilanjutkan dengan mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi, maka segenap masyarakat sipil melakukan pembangkangan sipil untuk melawan tirani dan autokrasi rezim Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukungnya dengan memboikot Pilkada 2024. (dra)

Ikuti Berita lainnya di Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah Logo-Google-News-removebg-preview.png

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.