Connect with us

HIBURAN

Jalani Proses Panjang, Pemeran Anak-Anak Sanggar Pilar Samarinda Sukses Bawakan Drama Musikal Senandung Rindu dari Tapal Batas

Diterbitkan

pada

Pementasan Senandung Rindu dari Tapal Batas. (Nisa/Kaltim Faktual)

Teater Sanggar Pilar Kota Samarinda baru saja menggelar pementasan drama musikal yang berjudul `Senandung Rindu dari Tapal Batas`. Menariknya, mayoritas pemeran masih berusia anak-anak.

Sanggar Pilar Kota Samarinda telah berkiprah di dunia teater dan seni peran sejak tahun 2000. Pemeran dari beragam usia, belajar dan berproses di komunitas ini. Baik itu lakon, musik, tata rias, vokal, hingga modeling.

Menjelang akhir tahun 2024 ini, Sanggar Pilar kembali mempersembahkan pementasan drama musikal. Berjudul `Senandung Rindu dari Tapal Batas`. Mentas di Gedung Rinjani Taman Budaya Kota Samarinda, Minggu, 22 Desember 2024.

Drama musikal yang dibawakan mengambil cerita dari daerah perbatasan, yang kondisi pendidikannya memprihatinkan. Baik itu dari segi fasilitas, sarana dan prasarana, hingga jumlah guru yang jauh dari kata memadai.

Sinopsis `Senandung Rindu dari Tapal Batas`

Pementasan ini menceritakan tentang anak-anak di daerah perbatasan  memiliki semangat yang sangat besar untuk bersekolah demi meraih cita-cita. Bahkan bisa menyamai taraf pendidikan anak-anak di pekotaan.

Anak-anak di perbatasan itu, berada di daerah yang letaknya justru lebih dekat dengan negara tetangga Malaysia. Dibandingkan dengan ibu kota Indonesia. Bahkan jual beli di sana, lebih banyak menggunakan mata uang ringgit.

Mayoritas masyarakat di sana hidup dari hasil bertani dan berladang. Sebagian lagi memilih merantau ke Malaysia untuk mengubah nasib. Pendidikan di sana tak dianggap penting oleh orang tua dan masyarakat setempat.

Anak-anak cukup hanya bisa membaca dan menulis. Lalu bekerja untuk membantu orang tua, mendapatkan uang dan bisa mengubah nasib. Tak ada harapan bercita-cita tinggi.

Lalu diceritakan ada seorang anak bernama Qira yang ingin menjadi guru. Tapi berlawanan dengan keinginan Mak Wiyah, ibunya, yang tak ingin anaknya terlalu berharap dalam kondisinya itu. Mak Wiyah justru ingin anaknya ikut ayahnya merantau ke Malaysia.

Baca juga:   Nella Kharisma akan Mentas di Pesta Rakyat Kaltim, Pecinta Dangdut Koplo Jangan sampai Gak Datang

Terlebih, di tengah semangat anak-anak yang tinggi untuk belajar, mereka hanya memiliki seorang guru bernama Mak Tua, yang telah berusia tua dan sakit-sakitan. Harus dirawat di rumah dan tak bisa mengajar.

Bahkan anak dari Mak Tua, ingin membawanya berobat dan pindah ke Malaysia lalu berhenti mengajar karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan. Sementara Mak Tua adalah harapan terakhir dari anak-anak perbatasan.

Sempat muncul kabar adanya guru baru dari kota. Sayangnya kabar itu hanya harapan palsu. Tak ada satu pun guru yang datang. Kegiatan belajar dan bersekolah, terpaksa tidak berjalan selama Mak Tua belum sembuh.

Suatu hari, pada kondisi belum sembuh benar, Mak Tua kemudian sempat memaksakan diri untuk mengajar. Dia menanamkan semangat kepada anak-anak agar tidak putus sekolah dan bercita-cita meski dalam keterbatasan.

Mak Tua juga menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Seperti dasar negara, hari kemerdekaan Indonesia, dan lainnya. Agar anak-anak memiliki kecintaan terhadap Tanah Air meski mereka lebih dekat dengan negara tetangga.

Mak Wiyah sempat melarang Qira untuk sekolah. Namun semangat Qira untuk menjadi guru lebih besar. Qira bahkan menolak untuk ikut abahnya ke Malaysia, terlebih jika harus menjadi pembantu di negeri orang.

Setelah perdebatan yang besar itu, kesehatan Mak Tua kembali menurun. Sehingga anaknya terpaksa membawanya ke Malaysia untuk dirawat di sana. Mak Tua kemudian berpamitan kepada anak-anak di daerah perbatasan itu.

Baca juga:   Njan Fadhilah Bikin Cewek-Cewek Histeris di Yamaha Fazzio Youth Festival Samarinda

Perpisahan Mak Tua dengan belasan anak-anak perbatasan itu dipenuhi isak tangis. Sang guru lalu berpamitan dengan setiap muridnya, dan memeluk mereka satu per satu. Suasana sedih begitu terasa, terutama untuk Qira. Adegan itu menjadi penutup dari drama musikal.

Ulasan Pementasan Drama Musikal

Pementasan selama sekitar 1 jam itu berhasil dibawakan dengan sangat apik. Menariknya mayoritas pemerannya adalah anak-anak. Mereka mampu membawa peran dengan sangat bagus, dan berhasil menunjukkan beragam ekspresi.

Cerita yang dipadukan dengan nyanyian dan tarian pun tersaji dengan bagus. Bahkan para pemeran anak-anak tampak seperti tidak bermain peran. Karakter anak-anak pedalaman dibawakan dengan baik, mulai dari keceriaan, harapan, kekecewaan, hingga kesedihan.

Peran apik yang dibawakan oleh anak-anak itu berhasil membawa penonton mendalami isi cerita. Sesekali tertawa pada adegan lucu, lalu menguras air mata pada adegan sedih saat perpisahan Mak Tua dan anak-anak.

Dipadukan dengan kostum yang mendukung, penerangan yang apik, efek suara dan musikal yang oke, tata panggung yang sesuai, dan juga kemampuan peran yang sangat bagus dari anak-anak patut untuk diapresiasi.

Proses Panjang Setahun Latihan

Sebagai informasi Sanggar Pilar mementaskan 2 pementasan dengan cerita yang sama tapi dengan pemeran yang berbeda. Pada sore hari dan dilanjutkan pada malam harinya.

Sutradara Pementasan Sanggar Pilar Kota Samarinda Irwan Kukubus menjelaskan sangat banyak anak-anak Sanggar Pilar di Samarinda yang berbakat dalam seni peran dan bidang lain yang berkaitan. Sehingga tidak cukup dengan hanya satu pementasan saja.

“Nanti banyak bakat yang tidak tertampung. Bakat yang lain di kemanakan? Sementara Sanggar Pilar harus mengakomodir semua bakat anak-anak itu.”

Baca juga:   Teras Samarinda Sudah Dilengkapi Pelican Cross untuk Menyebrang, DPRD Minta Jangan Dimainkan Sembarangan

“Dan kami dari tahun ke tahun memang program unggulannya drama musikal, makanya jadi 2 pementasan,” kata Irwan kepada Kaltim Faktual usai pementasan.

Irwan mengaku merasa begitu lega ketika gelaran pementasan berjalan lancar dan sukses tanpa kendala. Proses panjang latihan selama berbulan-bulan telah terbayar tuntas. Pementasan ini dipersembahkan untuk anak-anak di daerah perbatasan Indonesia.

Ia mencatat proses latihan berjalan panjang sekitar hampir setahun. Mulai dari casting, pemilihan pemeran, pergantian aktor, pencocokan jadwal, latihan koreografi, hapalan naskah, latihan menyanyi, dan lainnya.

“Pemeran mulai dari usia 4 tahun, sampai 60 yang memerankan Mak Tua.”

Mayoritas pemeran usia anak-anak memang menjadi kendala tersendiri. Terlebih mereka berada di sekolah yang berbeda-beda dan tersebar di Kota Samarinda. Sehingga harus dapat jadwal latihan yang semua anak bisa.

“Kendalanya buat anak-anak bagaimana memahami mood mereka. Bertahan 5 menit aja sudah bersyukur. Apalagi di panggung 1 tahun mereka tetap stand. Dan itu dilatih selama berbulan-bulan.”

Melalui pementasan ini, Irwan ingin berpesan bahwa selain pendidikan di perkotaan, masih banyak anak-anak di perbatasan yang kurang beruntung dalam pendidikan. Mereka juga perlu perhatian dari banyak pihak.

“Sempat riset perbatasan Nunukan, dan ada adegan real dari sana yang kita pentaskan. Kita juga kasih pentingnya menanamkan rasa nasionalisme,” kata Irwan.

Setelah di tahun 2024 ini, Irwan menyebut akan kembali menggarap produksi pementasan drama musikal untuk tahun depan 2025.

“Sekarang kita mau progres ke pemeran remaja dan drama musikal yang lebih tradisi,” pungkasnya. (ens)

Ikuti Berita lainnya di Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah Logo-Google-News-removebg-preview.png

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.