Connect with us

HIBURAN

Review Black Panther : Wakanda Forever, Suguhan Aksi Nan Emosional Tanpa Perlu Kekanak-kanakan

Diterbitkan

pada

black panther wakanda
Black Panther: Wakanda Forever menjadi film keluaran Marvel yang dinilai memuaskan karena kualitasnya. (NET)

Akhirnya, “Black Panther : Wakanda Forever” memberikan optimisme bagi para penggemar dan penikmat terhadap masa depan Marvel Cinematic Universe.

Oleh: Gusiq

Adiwira atau “pahlawan super” sebagai satu dari banyak ragam jenis karya sinema memang semakin tampak merajai tontonan populer pada satu dekade terakhir. Genre ini, bersama genre-genre lain seperti horor dan aksi adalah jaminan bagi produser-produser untuk mengais pundi.

Dampaknya adalah hampir punahnya genre-genre film lain yang seolah tidak mampu lagi bersaing dalam ranah layar perak. Coba Anda ingat kapan terakhir Anda menonton film komedi, kolosal, ataupun western di bioskop?

Marvel Studio sebagai salah satu produser film adiwira terbesar (atau mungkin malah yang terbesar) tampaknya amat menikmati dominasi yang semi monopolistik ini. Melalui pendekatan waralaba berkesinambungan yang cukup konsisten, Marvel saat ini menguasai narasi adiwira lewat Marvel Cinematic Universe (MCU).

Ketuk palu terakhir yang menandakan kekuasaan mutlak adalah saat MCU menggenapkan diri lewat narasi “Avengers vs Thanos” atau “Infinity Saga”, yang mungkin beberapa dekade ke depan akan dikenang sebagai salah satu momen puncak kesuksesan film adiwira. MCU melayang ke angkasa bagai raja diraja. Dan seperti yang jamak dilakukan oleh pemenang yang berkuasa, mereka bebas melakukan apa saja.

Sinema Siap Santap

Salah satu kebebasan yang terlihat dalam beberapa karya MCU pasca Thanos adalah menyajikan beberapa filmnya menjadi film ringan siap santap berdurasi 2 jam. Kita semua sepakat bahwa durasi sebuah film tidak selalu berkorelasi positif dengan kualitasnya. Namun, seringkali hampir mustahil untuk menyaji-muatkan naskah yang padat menjadi alur yang lancar dan enak dinikmati hanya dalam durasi kurang dari 120 menit.

Menonton karya MCU siap santap seperti “Doctor Strange : Multiverse of Madness” dan “Thor : Love and Thunder” mengingatkan saya dengan serial kartun Marvel 90’an macam “Spider-Man Animated Series” dkk. Animasi-animasi Marvel tersebut menyajikan penceritaan cepat dengan sekuensi dan pemotongan adegan yang cepat dan dialog yang ringkas, cocok bagi anak-anak yang memiliki rentang memori antusiasme yang pendek.

Walaupun film adiwira pada dasarnya berorientasi bagi anak dan remaja, amat disayangkan apabila film layar lebar dengan aktor sekelas Benedict Cumberbatch dan Chris Hemsworth dkk disajikan dengan alur yang tergesa-gesa, adegan yang melompat-lompat, pembangunan konflik yang lemah, hingga penempatan unsur komedi yang berlebihan. Dari banyak film MCU, “Doctor Strange : Multiverse of Madness” dan “Thor : Love and Thunder” hampir tidak meninggalkan kesan saat ditonton. Dan saya tidak ada minat untuk menonton kedua film tersebut lebih dari sekali.

Baca juga:   Sengketa Lahan Pertanian-Pertambangan di Batuah, Komisi I Segera Cek Lapangan

Wakanda Pasca T’Challa

Sebagai penutup tahun 2022, Marvel Studio mempersembahkan bagi penggemarnya “Black Panther : Wakanda Forever”. Proses produksi sekuel pertama dari “Black Panther” ini harus bersiasat dengan kematian aktor utamanya mendiang Chadwick Boseman, yang memerankan tokoh titular. Produser telah memutuskan untuk mematikan karakter T’Challa sebagai Black Panther untuk menghormati almarhum. Menyikapi hal tersebut, sutradara Ryan Coogler yang juga sebagai salah satu penulis memiliki beban untuk meneruskan saga tersebut secara layak dan berkesinambungan dengan MCU.

Premis awal “Black Panther : Wakanda Forever” adalah kematian sosok T’Challa sebagai Raja negeri Wakanda. Kehilangan sosok raja menjadikan negeri Wakanda tanpa pelindung.  Alhasih, ibunda Ratu Ramonda harus memegang kelangsungan kekuasaan. Di sisi lain, Puteri Shuri benar-benar terpukul dengan kematian T’Challa. Dia merasa segala kecerdasan dan teknologi ciptaannya sia-sia belaka karena tidak mampu menyelamatkan kakaknya.

Dinamika yang dihadapi oleh Wakanda semakin bertambah dengan keinginan dunia internasional agar Wakanda berbagi sumber daya vibranium. Ratu Ramonda sendiri menghadapi tekanan negara-negara besar tersebut dengan ketegasan dan kewibawaan. Namun permasalahan belum usai. Perkara logam vibranium akhirnya membawa Wakanda berkonflik dengan negeri lain yang tidak disangka-sangka. Negeri itu adalah Talokan, sebuah peradaban bawah laut yang dipimpin oleh raja yang bernama Namor.

Naskah Kompromistis yang Memuaskan

Sebagai penutup fase 4, “Black Panther : Wakanda Forever” akhirnya berhasil mengobati kekecewaan terhadap film Thor dan Doctor Strange terakhir. Kepuasan pertama adalah dari sisi durasi penyajian. Waktu sebanyak 160 menit alias hampir 3 jam digunakan dengan baik untuk pembangunan konflik dan karakter. Bandingkan dengan durasi “Thor : Love and Thunder” yang cuma 119 menit. Dengan durasi sependek itu, sangat sebuah film dengan latar dan tokoh yang amat luas dapat disajikan dengan nyaman dan layak.

Aspek lain yang menggembirakan adalah naskah yang cukup matang. Kematian aktor utama ditransformasikan dalam bentuk kematian tokoh titular. Dalam film ini, dampak psikologis kehilangan sosok T’Challa digambarkan dengan baik terhadap tokoh-tokoh lain di negeri Wakanda. Banyak adegan-adegan pelan yang kontempelatif disajikan untuk memberikan dampak emosional kepada penonton. Penghormatan kepada sosok T’Challa sekaligus mendiang aktor Chadwick Boseman ditampilkan secara proporsional, elegan, dan menyentuh.

Baca juga:   7 Berita Populer Minggu Ini, Nomor 5 Bikin Geger

Sisi lain naskah yang memuaskan adalah bagaimana menyesuaikan latar belakang Raja Namor. Dengan pertimbangan keberadaan adiwira Aquaman dari Studio DC yang telah menggunakan latar belakang Atlantis, asal usul Namor (yang dalam komik juga berasal dari Atlantis) di film ini digambarkan berasal dari peradaban Maya Kuno di Amerika Tengah. Sebuah keputusan yang brilian karena seolah-olah menyimbolkan dua sisi peradaban Afrika (Wakanda) dan Amerika (Talokan) yang dipisahkan oleh Samudera Atlantik. A Clash of Two Kingdom.

Visual dan Akting Padu Padan

Jalinan kisah pertentangan antara dua negeri ini secara visual diwujudkan dengan apik salah duanya lewat visual lansekap dan tata kostum yang sangat menawan. Jika pada film pertama mata penonton dimanjakan dengan estetika tradisional Afrika Sub-Sahara, film kedua (pembuat) berhasil memadukannya dengan eksotisme kultur Meso-Amerika pra Kolombian. Selain lewat kostum, peradaban Maya diwujudkan lewat pemakaian bahasa dan bahkan pemilihan beberapa pemeran yang asli suku Maya dan Meksiko.

Secara khusus, aktor pendatang baru Hollywood asal Meksiko Tenoch Huerta berhasil membawa sosok Namor dengan khas dan membekas. Selain lewat akting, latar belakang sang aktor yang berasal dari suku asli Meksiko semakin menguatkan karakter Namor.

Para pemeran lain juga tidak kalah bersinar. Aktris senior Angela Basset berhasil menampilkan Ratu Ramonda yang tegar dan berprinsip. Beberapa momen akting Ratu Ramonda berhasil menampilkan kesan emosional.

Letitia Wright yang seringkali diragukan untuk mengemban protagonis utama sepeninggal Chadwick Boseman, ternyata dapat mewujudkan tokoh Shuri yang rapuh sekaligus berwibawa.

Uniknya, sosok Shuri tetap menyisakan kesan kasual yang ditampilkan sejak film pertama. Jangan heran dengan kompleksitas karakter tersebut, Letitia Wright mendapat kehormatan menjadi pemeran utama di film berbujet 250 juta dolar Amerika ini. Para pemeran lain pun tetap bersinar dalam porsi masing-masing. Mulai dari Danai Guera sebagai Okoye, Lupita Nyong’o sebagai Nakia, Winston Duke yang melanjutkan peran sebagai M’Baku, dan para pemeran pendukung lainnya.

Sisi teknis film ini masih standar ala MCU. Efek visual yang ditampilkan secara umum baik, khususnya di adegan bahwa air yang menggambarkan Talokan. Hanya di beberapa adegan terdapat grafik komputer yang masih kentara pencahayaan dan efek “latar hijau” nya.  Dari tata musik, sosok Ludwig Göransson yang mendapatkan Piala Oscar lewat Black Panther pertama kembali bekerja di film kedua. Sentuhan musik orkerstranik seperti film pertama dengan beberapa variasi tema diperdengarkan, dan sangat baik memberikan sentuhan aksi dan dramatis. Yang agak mengganggu adalah editing tata suara dan adegan di beberapa sekuen aksi. Ada beberapa adegan aksi dimana penempatan musik cukup mengganggu ritme menonton.

Baca juga:   Sah! Biji Kakao Terbaik Ada di Berau

Sentuhan Emosional ala “Civil War”

Akhirnya, “Black Panther : Wakanda Forever” memberikan optimisme bagi para penggemar dan penikmat terhadap masa depan Marvel Cinematic Universe. Film ke-30 MCU ini berhasil memberikan kesan yang sama seperti beberapa film MCU di “Infinty Saga”. Melampaui semua pencapaian aksi yang spektakuler, tema dendam dan rekonsiliasi lah yang sebenarnya menjadi daya hidup utama film ini. Bagi saya, pendekatan tematis film Black Panther kedua ini mengambil semangat yang sama dengan kemunculan Black Panther di MCU lewat film “Captain America : Civil War”. Sisi kedewasaan inilah memberikan kesan mendalam dan menjadikan sebuah karya layak ditonton ulang.

“Black Panther : Wakanda Forever” saya anggap kurang lebih bisa berdiri sejajar dengan “Captain America : Winter Soldier” dan “Avengers : Infinity War” sebagai tolok ukur film-film MCU selanjutnya. Ke depan, Marvel Studio wajib konsisten memberikan durasi waktu dan ruang gerak yang layak demi koherensi film-filmnya. Beri juga sentuhan komedi yang pas dan inheren dengan cerita, bukan hanya ledakan situasional yang berkesan memaksa. Jangan lagi menjadikan film layar lebar sebagai animasi minggu pagi versi pemeran asli dan berbiaya besar dan siap santap. (DRA)

Tentang Penulis

Agus Ferdinand, biasa disapa Gusiq. Adalah penikmat semua jenis film, yang lebih menghargai sebuah film yang ditampilkan dalam layar lebar.

Kalau LSF bersabda “Tontonlah film sesuai usia”, maka Gusiq menambahkan “Tontonlah film sesuai ekspektasi”. Karena secara prinsip tidak ada film yang jelek, melainkan film yg tidak sesuai ekspektasi.

Selain film, Gusiq tertarik dengan desain, sains, sejarah, dan pemerhati perilaku-perilaku sosial populer.

Saat ini penulis berdomisili di Samarinda dan mengabdi di Ombudsman Republik Indonesia. Ikuti Gusiq dengan klik ini.

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.