Connect with us

SEPUTAR KALTIM

SIGAB Dorong Fasilitas Publik yang Ramah dan Penggunaan Istilah Difabel Dibandingkan Disabilitas

Diterbitkan

pada

Pengurus SIGAB Indonesia ketika berkunjung di Samarinda. (Nisa/Kaltim Faktual)

Lingkungan yang inklusif belum sepenuhnya dirasakan oleh penyandang difabel. Paling tampak dari fasilitas publik yang belum ramah. Termasuk juga dalam penyebutan. SIGAB dorong penggunaan kata Difabel.

Idealnya sebuah kota untuk tinggal, ialah kota yang ramah untuk semua kalangan. Termasuk kalangan marjinal sekalipun. Sebagai kelompok marjinal, penyandang difabel memerlukan aksesibilitas di ruang publik.

Sehingga berbagai fasilitas publik diharapkan memenuhi hak-hak penyandang difabel.  Seperti akses jalan selain tangga, akses lift untuk mengakses lantai yang berbeda, toilet difabel, hingga akses informasi yang mudah.

Namun belum semua fasilitas publik ramah pada mereka. Termasuk di Kota Samarinda. Seperti yang viral di media sosial belum lama ini, salah satu akses jalan untuk penyandang difabel di trotoar di Samarinda, malah berujung pada jurang yang mengarah ke Sungai Mahakam.

Hal itu menunjukkan, Kota Samarinda belum menyediakan akses yang memadai, sehingga penyandang disabilitas belum aman dan nyaman dalam mobilitasnya di ruang publik di Kota Samarinda.

Baca juga:   Peserta MTQ Nasional ke-30 Lakukan Registrasi Ulang

SIGAB Dorong Lingkungan Inklusif

Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia terus mendorong pemerintah, termasuk pemerintah daerah untuk dapat mewujudkan lingkungan yang inklusif bagi semua kalangan.

Program Officer Solider Sigab Indonesia, Kuni Fatonah memahami belum meratanya pemahaman masyarakat soal penyandang disabilitas. Kelompok marjinal ini masih terstigma dan dipandang berbeda.

“Karena banyak yang belum paham. Mereka masih berpikir hal yang terlihat di mata. Harusnya sudah disediakan akomodasi yang layak, kebutuhan perseorangan. Menjadi sebuah layanan yang inklusif,”  jelasnya kepada media Senin, 9 September 2024.

Sehingga Sigab mendorong pemerintah untuk dapat mewujudkan daerah yang inklusif dan ramah bagi penyandang disabilitas. Mulai dari trotoar, akses di ruang publik seperti di hotel, bandara, bank, hingga pusat perbelanjaan.

Sigab sendiri juga berupaya mewujudkan lingkungan yang inklusif. Dimulai dari tingkat paling bawah, yakni desa inklusif. Mendorong agar berbatasan layanan bisa mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas.

Baca juga:   Seni Kaligrafi Digital Jadi Lomba Baru pada MTQ Nasional 2024 di Kaltim

“Samarinda sendiri sudah cukup responsif terhadap kebutuhan penyandang disabilitas. Hanya saja mungkin penerapannya masih kurang. Juga belum ada sosialisasi yang lebih luas,” tambahnya.

Selain fasilitas, penyerapan tenaga kerja juga masih belum terpenuhi. Secara aturan, setiap perusahaan baik itu swasta, BUMN atau bahkan pemerintahan, wajib memiliki 1-2 persen karyawan penyandang disabilitas.

“Tapi kalau penyandang disabilitas melamar kerja, pasti banyak pertimbangannya. Dan tidak ada sanksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi itu.”

Sehingga Sigab juga mendorong pemerintah, untuk menggencarkan pelatihan untuk penyandang disabilitas. Agar ketika bekerja, pemilik perusahaan lebih fokus pada kompetensi yang dimiliki ketimbang kekurangan fisik.

Pakai Difabel Dibandingkan Disabilitas

Selain itu, penyandang disabilitas juga lebih senang disebut sebagai difabel, dibandingkandisabilitas. Karena secara maknanya saja, keduanya sudah menunjukkan perbedaan.

Baca juga:   Pembuatan NKV di Kaltim Gratis, Kini Sudah Ada 70 Unit Usaha Produk yang Sudah Terdaftar

Disabilitas menurut asal kata terdiri atas kata dis dan ability. Disabilitas biasa diartikan sebagai cacat atau tidak mampu. Merujuk pada ketidakmampuan atau keterbatasan seseorang untuk menjalankan aktivitas tertentu.

Misalnya disebabkan penglihatan, pemikiran, komunikasi, pembelajaran, memori/ingatan, gerakan, kesehatan mental, pendengaran dan lainnya. Sehingga istilah disabilitas membuat perbedaan yang jauh dengan non-disabilitas.

Sementara difabel, singkatan dari differently abled’ menjadi counter terhadap penggunaan istilah penyandang cacat yang terasa stigmatis. Kuni menyebut penggunaan istilah difabel menjadi lebih ramah.

Sebab difabel tidak fokus pada kekurangan yang dimiliki penyandangnya. Namun fokus pada kemampuan berbeda yang dimiliki. Hal ini tidak menimbulkan kesan perbedaan dengan non-disabilitas. Dianggap sama namun memiliki kemampuan yang berada.

“Sehingga penyandang disabilitas atau difabel, juga menjadi bagian dari masyarakat. Punya hak yang sama, kebutuhan yang sama, dan lainnya,” pungkas Kuni. (ens/fth)

Ikuti Berita lainnya di Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah Logo-Google-News-removebg-preview.png

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.