KOLOM REDAKSI
Catatan Spesial HUT Paser: Romantisme ‘Kota Kecil’ Long Kali, tentang Pemali dan Nilai Budaya

Cara hidup orang Long Kali, Kabupaten Paser sempat bikin saya bingung. Kami sering melewati kebun buah warga. Rambutan menjuntai rendah, mangga matang berjatuhan. Tapi kami tak berani mengambil. Takut kena Minyak Paser. Pemali!
Oleh: Ahmad A. Arifin
Pertama kali saya menginjak Tana Paser pada awal 1999. Tepat ketika krisis moneter yang membuat orang tua saya meninggalkan Kaliorang (Kutim). Untuk mengadu nasib.
Kami menetap beberapa bulan di sebuah perkebunan karet (sekarang jadi sawit) di pelosok Samuntai. Di situ, pertama kali saya mengenyam pendidikan dasar.
Tak banyak yang bisa saya kenang di Samuntai. Selain sungai berbatu yang jernih sekali. Pencuri mesin alat berat yang tak bisa ditangkap karena bisa menghilang. Darah ayam yang ternyata bisa digoreng dan dijadikan lauk. Dan kesenangan sebulan sekali shopping ke Pasar Simpang Pait pascagajian.
Setelah itu kami berpindah-pindah. Ke Petangis – Paser bagian ujung. Long Kali, Longikis, Penajam, Babulu, Long Kali lagi. Saat SD, saya pindah 8 kali (tidak usah heran). Empat di antaranya ada di Paser. Mengawali di Samuntai, mengakhiri di Bente Tualan, Long Kali bagian pelosok.
Bada magrib di hari perpisahan SD, Bapak tanya, “Mau SMP di mana?” Saya jawab, “Di Kaliorang.” Selepas salat isya, saya diberangkatkan. Malam itu juga. Bapak mengantar sampai Samarinda. Di Terminal Lempake, di dalam bus tujuan Sangkulirang. Saya dititipkan pada seorang pria.
Saya memulai kehidupan baru di kampung halaman sendiri. Walau tanpa orang tua. Saya kira, episode kehidupan di Paser telah selesai. Namun ‘dia’ memanggil lagi. Pada semester 3 SMP, saya kembali.
Sebenarnya rencana awal mau melanjutkan sekolah di Penajam. Orang tua bermukim di sana. Ndilalah, malah kembali ke Long Kali. ‘LDR’ lagi. Ngekos seorang diri.
Meski saya sudah sering berpindah tempat. Namun Long Kali memberi kesan paling berbeda. Itu untuk pertama kalinya saya tinggal di pinggir jalan raya. Beraspal. Tidak becek seperti sepanjang hidup saya sebelumnya.
Sudah begitu, listrik 24 jam. Mandi tidak perlu ke sumur, air sudah mengalir ke kamar mandi.
Yang ada di benak saya saat itu, “Astaga, aku tinggal di kota!”
Long Kali sudah sangat maju kala itu, untuk ukuran anak desa seperti saya. Kehidupan dan obrolan remaja di sana beda sekali. Culture shock, jelas. Di ‘kota kecil’ itu, saya akhirnya merasakan sensasi nonton acara kartun pada Minggu pagi. Pengalaman yang tak pernah saya dapatkan di desa.
Di situ pula saya mulai menonton pertandingan sepak bola Eropa. Suka MU, tahu Ronaldo, Rooney, Messi, Deco, dan bintang Eropa lainnya. Sebelumnya, saya kira Lazio yang lambangnya keren itu adalah klub terhebat di dunia. Saya berpandangan begitu usai melihat logo Lazio pada korek gas. Keren.
Ada banyak hal modern yang saya lihat dan rasakan di Long Kali. Tapi bukan itu intinya. Justru di balik peradaban ala perkotaan, masyarakat setempat hidup dengan menjunjung budaya leluhur. Sangat kuat nilai budayanya.
Bukan dengan sering membuat pertunjukan budaya. Nilai budaya Paser justru terasa pada kehidupan sehari-hari. Ada beberapa pantangan yang sangat dilarang buat dilakukan.
Pertama, bilang kolo. Maaf jika penulisannya tidak tepat. Masyarakat Paser tentulah tahu maksudnya. Ini seperti jancuk, umpatan. Kerap tidak sengaja terucap saat emosi memuncak.
Meski tergolong kata umpatan, masyarakat Paser sangat menghindari mengucapkannya. Konon, jika kita mengucap kata ini, kita akan mendapat kesialan tak terduga. Tidak ada penjelasan detail. Namun kami memercayai, dan kami tidak menyebut kata itu.
Kedua, mitos Minyak Paser. Bagi suku Paser, minyak ini dipercaya punya magis. Bisa menyembuhkan penyakit, tapi bisa dipakai untuk perantara ilmu sihir. Membuat orang sakit.
Kemagisan Minyak Paser diceritakan turun temurun. Bahkan konon, orang Paser bisa secara random mengoleskan minyak tersebut ke tanaman mereka. Yang jika kita mengambil buahnya tanpa izin pemilik. Kita langsung tidak bisa bergerak. Lengket. Baru bisa bergerak lagi jika sudah mendapat penawarnya.
Pada saat itu, saya berusaha percaya. Tapi tidak bisa sepenuhnya. Setidaknya, belum pernah ada kasus konkret dari lengket di pohon usai mencuri buah. Bahkan binatang pun tidak lengket.
Namun untuk tidak percaya, saya tidak cukup berani. Semua teman-teman saya, yang kebanyakan memang suku Paser. Memercayai itu. Meski hanya karena doktrin ‘katanya’.
Saya hanya tamu. Pikiran praktisnya, kenapa saya harus melanggar aturan tak tertulis yang dipercaya masyarakat setempat?
Seringkali ketika mendatangi rumah teman sekolah yang ada di kebun. Kami melewati kebun buah. Godaan terbesar adalah ketika musim buah. Mangga matang berjatuhan, rambutan memerah menjuntai rendah, langsat manis begitu menggoda untuk dipetik.
Dan yang kami lakukan, melewatkannya saja. Lebih baik buah-buah itu membusuk di tanah. Atau dimakan binatang. Ketimbang nekat mengambil, terus kena Minyak Paser yang ajaib. Serem.
Pergejolakan batinnya adalah, di kampung saya. Jika mendapati kasus serupa. Ya sikat. Meski benar itu tergolong mencuri. Namun istiadat di sana membolehkan kami melakukannya. Daripada mubazir. Pemilik kebun tidak pernah keberatan. Selama untuk dimakan, bukan dijual!
Kadang, saya gatal sekali untuk mengambil buah-buah itu. Tapi ketika sadar itu melanggar norma setempat. Sudah lah, telan liur saja.
Meski sejujurnya, saya belum percaya sepenuhnya tentang mitos lengket di pohon itu. Namun pada akhirnya, saya harus memberi penghormatan besar pada suku Paser.
Terlepas hal itu bisa terjadi atau tidak. Yang jelas, mitos itu membuat anak-anak, remaja di Tana Paser tidak mencuri! Sumpah, ini pemaknaan budaya yang sangat keren. Belum pernah saya temukan kasus serupa di tempat lain.
Jikapun saat ini saya masih tinggal di Long Kali. Saya akan bilang pada anak saya, “Nak, jangan mengambil sesuatu yang bukan milikmu. Nanti kamu lengket!”
Saat menulis catatan ini, saya benar-benar tersenyum. Kok bisa, sebuah mitos bekerja sangat baik untuk tidak membiasakan anak-anak mencuri. Jadi kangen suasana Long Kali.
Lanjut ke pemali lainnya ya. Jika ada yang menyebut suku Paser itu sangat tradisional, kuno, dan semacamnya. Pengin rasanya berbisik pada orang itu, “Your Eyes!”
Saya adalah saksi hidup, bahwa pada 2004-2005, masyarakat Paser di Long Kali sudah terbuka dengan keberagaman dan kemajuan zaman. Baik mereka yang tetap melakoni kehidupan sederhana ala suku Paser tempo dulu. Ataupun yang hidup sebagai masyarakat modern.
Mereka yang dikenal oleh orang luar sebagai suku sakti. Banyak ilmu (sihir)-nya. Justru memberi kenyamanan dan keamanan dengan kelembutan. Tanpa (lagi-lagi) orang luar ketahui, mayoritas orang Paser itu taat beribadah. Apapun agamanya.
Mereka bisa hidup agamis, tanpa meninggalkan kebudayaan. Tanpa benturan, tanpa ribut-ribut ini bid’ah itu bid’ah. Tentram sekali.
Di Long Kali mayoritas beragama Islam. Sehingga nuansa keislamannya pun cukup kental. Hari-hari raya Islam dirayakan meriah di sana. Namun uniknya, tidak ada kegiatan apapun pada malam Jumat.
Mau itu dangdutan, kasidahan –eh, di sana lebih ke … habsyian-, pertunjukan adat seperti belian, bahkan kajian akbar pun. Diliburkan pada malam Jumat.
Orang Long Kali percaya tidak bagus berkegiatan pada malam Jumat. Pemali. Pernah suatu ketika masjid raya mengadakan lomba Pildacil – pemilihan dai cilik-. Semingguan. Liburnya tetap malam Jumat. Semua sepakat. Tidak ada pertentangan. Menarik sekali.
Masih ada mitos-mitos menarik lainnya di Long Kali. Namun sepertinya catatan ini sudah cukup membuat pembaca lelah mata.
Pada akhirnya, meskipun setamat SMP saya sudah meninggalkan total Tana Paser. Ber-KTP PPU, tinggal di Samarinda. Namun Tana Paser punya kesan besar buat saya.
Saya tidak tahu, apakah semua cerita di atas masih relevan atau tidak. Apakah sudah ada pergeseran budaya atau tidak. Namun selamanya saya percaya, orang Paser itu Buen Kesong. Mereka adalah suku bangsa yang penuh optimisme, atas dasar Olo Manin Aso Buen Si Olo ‘Ndo.
Dan pada hari jadi Kabupaten Paser yang ke-63 pada 29 Desember 2022 ini. Saya berdoa, agar masyarakat Paser bisa terus Maju, Adil, dan Sejahtera.
Kehidupan masyarakat di kabupaten paling selatan Kaltim ini memang jarang tersorot. Tapi saya percaya, warga Paser adalah orang-orang yang bahagia. Dirgahayu, Kabupaten Paser!
*
Pada 2010, saya melaksanakan praktik kerja industri di Le Grandeur Hotel Balikpapan. Kala itu, hotel tepi pantai ini sedang top-topnya. Tamunya kebanyakan bule. Pekerjanya juga orang-orang keren.
Pada hari pertama saya dan dua rekan masuk kerja. Seorang pegawai berbisik pada kami. “Bro, kalian punya ilmu (kanuragan) kah?”
Heh! Kami bertiga berpandangan penuh keheranan. Pertama, kami tinggal di Penajam. Kedua, bahkan di Paser pun orang-orang hidup normal. Tidak ada tuh adegan-adegan seperti di film Wiro Sableng.
Kami jelaskan kebenarannya, senior tersebut agak kecewa. Tentu lega juga, karena dia jadi tidak takut lagi pada kami. Ya ampun.
Eh, esoknya. Pegawai lain kembali memepet kami. “Bro, ajarin ilmu pelet dong!”
ASTAGA, BANG. ORANG PASER TIDAK SEGITUNYA KALI! KAMI HIDUP NORMAL SEPERTI KALIAN! NORMAL, SANGAT NORMAL.
Saya saja, agak menyesal. Bertahun-tahun tinggal di Paser. Tidak pernah bisa menaklukkan wanita Paser yang ayu-ayu itu. Ditolak pernah, dua kali pula! Gimana ceritanya situ minta ilmu pelet (emot nangis).
*Penulis adalah tukang nulis di Kaltim Faktual. Semua yang diceritakan di atas murni berasal dari pengalaman pribadi. Maaf jika kurang berkenan.


-
SAMARINDA3 hari yang lalu
Buntut Dugaan Kenaikan Tarif Parkir Citra Niaga, DPRD Samarinda Akan Lakukan Investigasi
-
SAMARINDA4 hari yang lalu
Disporapar Samarinda Gencarkan Promosi Wisata, Budaya Pampang dan Susur Sungai Mahakam Masih Jadi Favorit
-
SAMARINDA3 hari yang lalu
Dugaan Perusahaan Cangkang dalam Proyek Teras Samarinda, DPRD Bersiap Gunakan Hak Interpelasi
-
SAMARINDA4 hari yang lalu
DPRD Samarinda Dukung Program Pranikah Satu Semester untuk Tekan Angka Perceraian
-
NUSANTARA3 hari yang lalu
Yamaha Flagship Shop Diresmikan, Wujud Nyata Realisasi Premium Dealer Layani Konsumen
-
SAMARINDA2 hari yang lalu
Dukung Kebijakan Efisiensi Anggaran, Dewan Desak Proyek Teras Samarinda Tak Dilanjut
-
SAMARINDA3 hari yang lalu
Penundaan Pengangkatan CPNS Rugikan Daerah, Samarinda Sebetulnya Sudah Siap
-
SEPUTAR KALTIM3 hari yang lalu
Tangani Inflasi di Kaltim, Ekonom Dorong Pemprov Bereskan Aksesibilitas dan Rajin Sidak