Connect with us

SAMARINDA

Datang ke Kaltim? Ini Sederet Culture Shock yang Bakal Kamu Alami!

Diterbitkan

pada

Jembatan Mahakam, salah satu ikon Kota Samarinda. (Mitha/Kaltim Faktual)

Merantau ke kota baru, selalu membawa cerita unik. Apalagi bagi yang pertama kali menginjakkan kaki di Kaltim. Banyak culture shock-nya. Apa saja? Begini pengalaman mahasiswa asal Bogor dan Makassar.

Culture shock atau geger budaya, dialami Silmi Nur Kamila dan Adnan Qahfi. Mereka adalah mahasiswa dari luar Kalimantan yang harus beradaptasi dengan berbagai kebiasaan yang berbeda dengan daerah asal mereka.

Secara definisi, culture shock adalah perasaan tidak nyaman, bingung, atau stres yang dialami seseorang saat berhadapan dengan budaya baru. Perasaan ini bisa terjadi ketika seseorang pindah ke negara atau lingkungan baru, serta komunitas dengan tradisi yang berbeda. Faktornya biasa muncul karena adanya perbedaan bahasa, adat istiadat, makanan, norma sosial, atau iklim.

Seperti yang dialami Silmi Nur Kamilah yang berasal dari Kota Bogor. Sebelum ia menginjakkan kaki di Tanah Borneo, ia mengaku tak punya gambaran yang begitu banyak soal Kalimantan. Hanya saja, keluarganya yang sedikit khawatir karena harus melepasnya ke tempat yang belum familiar sama sekali.

Dari awal turun dari pesawat, Silmi sudah mendapatkan hal yang mungkin tidak biasa ia alami di kota asalnya. Yup, cuaca yang panas. Mengingat dirinya berasal dari daerah dengan julukan “Kota Hujan” ia waktu itu merasa Kalimantan, tepatnya Samarinda punya hawa yang begitu menyengat.

Baca juga:   Pengin Mulai Olahraga? Ini Sederet Spot Joging di Samarinda yang Nyaman dan Mudah Dijangkau

“Apalagi kalau siang sekitar jam 2-3 an lah, terus buka keran air suhunya udah kayak buat bikin kopi, panas banget,” ujarnya kepada Kaltim Faktual.

Sejalan dengan Silmi, Andan Qahfi yang datang dari Pulau Sulawesi juga sebelumnya tidak punya bayangan yang jelas bagaimana Kalimantan yang akan dihuninya. Ia pun awalnya tidak pernah terpikir untuk merantau ke Samarinda.

“Aku enggak punya ekspektasi apa-apa, karena memang enggak pernah kepikiran kalau bakal kuliah di Samarinda,” kesahnya.

Transportasi Umum yang Minim dan Macet di SPBU

Kendaraan umum jadi perbedaan yang disorot oleh Andan serta Silmi. Mereka sedikit terkejut ketika mengetahui di Samarinda, kendaraan umum tidak sebanyak yang ada di daerah asalnya.

“Itu buat aku sedikit kesulitan ke mana-mana di awal-awal sih. Mau ojol (ojek online) tapi jaraknya dekat, jadi nanggung. Mau jalan jauh, pake ojol kemahalan,” aku Silmi.

Di daerah asal Silmi, macet adalah hal yang lumrah. Namun sampai Samarinda, ia jarang bahkan hampir tidak pernah mengalami macet yang panjang. Tak sama di kota-kota besar di Jabodetabek yang lekat dengan kata macet, justru hal ini tidak begitu ia rasakan selama tinggal di Kalimantan.

Baca juga:   Mellow hingga Jingkrak-Jingkrak: Dewa 19 Guncang Konser Perayaan Cinta di Samarinda

Namun, macet yang ia temukan unik. Justru di SPBU atau tempat pengisian bahan bakar kendaraan. Antrean yang cukup panjang ini malah jadi hal yang tidak relate dengannya.

“Antre bisa 30 menit sendiri yang panjangnya bisa sampai luar SPBU,” kata mahasiswa semester delapan ini.

Beda cerita dengan Andan. Mahasiswa Kedokteran ini justru memperhatikan bahwa warga Samarinda jarang menggunakan fitur klakson di jalan. Khususnya saat lampu lalu lintas sudah hijau.

“Kalau di lampu merah orang-orangnya enggak klakson pada saat sudah jalan.”

Harga Makanan yang Lebih Mahal

Setiap daerah pasti punya penyajian makanan dan rasa yang berbeda-beda. Di Kalimantan sendiri, Silmi menemukan perbedaan yang cukup besar dalam hal makanan. Misalnya, sambal mentah. Sebab dari apa yang pernah dia makan di tempat asalnya, sambal kebanyakan dimasak terlebih dahulu sebelum disantap.

Kalimantan juga dikenal dengan harga makanannya yang sedikit mahal jika dibandingkan dengan Pulau Jawa.

“Misalnya, mie ayam abang-abang, biasanya aku beli paling delapan ribu atau sepuluh ribu itu udah dapat yang enak. Disini minimalnya 12 ribu,” terangnya.

Baca juga:   Pemkot Susun Perwali, Urus PBG di Samarinda Bakal Dipercepat

Adaptasi dari “Gue-Lo” ke “Aku-Kamu”

Silmi dan Andan tak mengalami kendala berarti dalam segi bahasa. Hanya saja untuk Silmi kebiasaan dengan rekannya yang menggunakan kata ‘lo’ dan ‘gue’ mesti beradaptasi dengan warga Kalimantan yang memakai kata ‘aku’ dan ‘kamu’.

Istilah baru sudah pasti banyak berbeda dari daerahnya. Ia mengaku meskipun bahasa sehari-hari yang dipakai di Kalimantan adalah bahasa Indonesia, ia menemukan sejumlah kosa kata asing.

“Sedikit menyesuaikan aja, walau agak anehnya awal-awal,” kata Silmi.

Kalau Andan, kata yang paling membekas di ingatannya adalah ‘angsul’ yang artinya kembalian. Ia awalnya merasa kebingungan dengan kata ini karena bukan kata yang umum digunakan, serta tak familiar di telinganya.

Kalimantan, persisnya Kalimantan Timur pun Andan rasa adalah daerah yang cukup mudah untuk warga baru beradaptasi. Hal ini karena beragamnya suku dan latar belakang warga yang tinggal di daerah yang ia huni sekarang ini.

Culture shock memang nyata, tetapi dengan keterbukaan dan keinginan beradaptasi, segala perbedaan bisa menjadi pengalaman berharga.

Bagaimana denganmu? Pernah mengalami culture shock di kota baru? (tha/sty).

Ikuti Berita lainnya di Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah Logo-Google-News-removebg-preview.png

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.