Connect with us

POLITIK

Pandangan Akademisi soal Dinasti Politik di Kaltim: Belum Adanya Regulasi hingga Wajarnya Kekhawatiran Publik

Diterbitkan

pada

Akademisi Politik dari Unmul Syaiful Bachtiar. (Dok pribadi)

Meski belakangan Keluarga Mas’ud sedang disenggol oleh isu dinasti politik. Sejatinya praktik ini, dengan skala yang berbeda sudah terjadi sejak lama di Kaltim, oleh banyak politisi pula. Apa yang sebenarnya menjadi pokok keributan, berikut penjelasan Akademisi Unmul Syaiful Bachtiar.

Tak hanya di level nasional, perbincangan soal dinasti politik juga menghangat di Kalimantan Timur (Kaltim) jelang Pilkada November 2024 mendatang. Isu ini menjadi perdebatan publik menyoal baik tidaknya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan dalam lingkup pemerintah.

Sebetulnya, dinasti politik ini bukanlah hal baru di Kaltim. Namun belakang naik, karena salah satu dari Calon Gubernur Kaltim, Rudy Mas’ud diduga tengah membangun politik dinasti di pemerintah provinsi Kaltim.

Yang belakangan sedang disorot adala Calon Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud. Pemantiknya adalah terpilihnya Hasanuddin Mas’ud sebagai ketua DPRD Kaltim, padahal dirinya bukan pemilik suara terbanyak di Golkar selaku partai pemenang.

Rudy sudah menjelaskan bahwa pemilihan Hasanuddin sudah melalui mekanisme partai. Dan keputusannya ada di Pusat. Namun tetap ada masyarakat yang tidak puas, menyebut posisi Rudy sebagai ketua Golkar Kaltim ada andil dalam terpilihnya sang saudara.

Seperti diketahui, dalam beberapa tahun terakhir, Keluarga Mas’ud memang sedang populer di perpolitikan. Sedikitnya ada 4 bersaudara dan istri Rudy yang sempat dan sedang menduduki jabatan publik.

Baca juga:   HUT ke-25 Kota Bontang, Sekda Sri: Dulu Kampung Kecil, Sekarang Jadi Kota Maju

Tapi perlu diketahui juga, praktik ‘rame-rame berpolitik’ ini bukan dipelopori Keluarga Mas’ud, apalagi menjadi pelaku satu-satunya. Nama-nama politisi seperti Andi Harun, Sofyan Hasdam, Adi Dharma, Syaharie Jaang, Yusriansyah Syarkawai, Ismunandar, Awang Faroek, Isran Noor, Syaukani, dan masih banyak lagi.

Beda Dinasti Politik dengan Politik Dinasti

Menurut Akademisi Unmul Syaiful Bachtiar, istilah dinasti dalam pemerintahan dengan sistem demokrasi memang berbeda jika dibandingkan dengan sistem pemerintah yang menganut monarki.

Di negara monarki, memang secara proses mendapatkan kekuasaan, itu dilakukan secara turun menurun dalam satu keluarga. Sehingga disebut sebagai ‘politik dinasti’. Prosesnya pun melalui penunjukan dan bukan pemilihan.

Sementara dalam sistem demokrasi, istilah dinasti merujuk pada hubungan kekerabatan atau kekeluargaan yang terbentuk dari proses politik yang legal. Di antaranya pemilihan oleh rakyat. Sehingga disebutnya ‘dinasti politik’.

“Monarki itu politik dinasti, kalau dalam demokrasi sebutannya dinasti politik. Dinasti yang lahir dari proses politik yang legal,” kata Syaiful, belum lama ini.

Wajar Jika Masyarakat Resah

Menurut Syaiful, jika publik beranggapan bahwa proses meraih kekuasaannya melalui proses pemilihan, itu sah-sah saja. Yang menjadi permasalahan bukan pada prosesnya melainkan pada hasil dan kinerja.

Baca juga:   Mengenal AHJI Paslon Nomor 2: Dicintai Rakyat, Diharapkan Jadi Pemimpin Kutai Barat

Wajar jika banyak masyarakat yang khawatir bahkan menolak hubungan kekerabatan dan kekeluargaan dalam satu lingkup pemerintah entah itu kekuasaan eksekutif, legislatif, atau bahkan pada yudikatif.

Karena dikhawatirkan, akan mempengaruhi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) jabatan dari jabatan tersebut sehingga pejabat tersebut tidak bekerja secara maksimal. Bahkan bisa berpotensi pelemahan fungsi kekuasaan itu sendiri.

“Apalagi misalnya yang stau level. Pemerintah daerah, punya kerabat di DPRD. Maka muncul kekhawatiran tugasnya tidak berjalan dengan maksimal.”

Syaiful melihat, kekhawatiran tersebut wajar. Sebab mayoritas dari dinasti politik yang ada, berakhir dengan bermasalah dengan hukum hingga ditangkap oleh KPK. Sehingga menimbulkan kesan yang negatif di publik.

Selain terganggunya fungsi dari suatu jabatan, Syaiful menyoroti jabatan kepala daerah dan DPRD yang memiliki hubungan kekeluargaan (tanpa merujuk pada nama tertentu). Baginya  mereka merupakan pejabat publik yang secara ideal bekerja untuk kepentingan publik.

“Tidak ada jaminan atau garansi, jika memiliki hubungan kekerabatan dan kekeluargaan, maka fungsi jabatan tersebut tidak terganggu.”

“Mereka menggunakan anggaran rakyat, sehingga jika kebijakan menguntungkan kekuasaan keluarga dan tidak berpihak pada rakyat, maka rakyat lah yang dirugikan.”

Baca juga:   Awang Faroek, Donna, dan Rudy Mangkir dari Panggilan KPK karena Sakit dan Fokus Pilkada

Bisa Diatur lewat Regulasi

Syaiful menyebut memang tidak ada regulasi khusus yang melarang secara tegas terkait adanya hubungan kekeluargaan dan kerabat dalam jabatan-jabatan publik di ruang lingkup pemerintahan yang dipilih melalui pemilihan. Ya seperti gubernur, wali kota, bupati, dan DPRD.

Sehingga secara aturan memang tidak ada yang dilanggar karena tidak ada regulasi yang mengatur. Namun secara etik, itu termasuk berlawanan sehingga sebagian masyarakat memilih menolaknya.

Agar tidak terjadi potensi pelemahan fungsi jabatan, Syaiful mendorong adanya aturan yang menegaskan dan melarang adanya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan di jabatan publik yang dipilih oleh rakyat.

Sebab selama ini, aturan pelarangan tersebut baru berlaku untuk birokrasi pemerintahan. Namun untuk jabatan yang dipilih melalui Pemilu dan Pilkada belum diatur. Sehingga bisa diatur melalui UU Pilkada dan lainnya.

“Kuncinya ada di partai dan pemerintah yang berkuasa. (Pelarangan) harus masuk jadi bagian sebuah UU. Memungkinkan misalnya dilakukan revisi UU Pilkada atau UU pemerintah daerah yang melarang secara tegas ketika ada hubungan kekerabatan yang dekat. Menurut saya itu memungkinkan,” pungkas Syaiful. (ens/fth)

Ikuti Berita lainnya di Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah Logo-Google-News-removebg-preview.png

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.