Connect with us

HIBURAN

Siapa yang Baru Tahu Kalau Panjat Pinang Berasal dari Kebudayaan China yang “Dimodif” oleh Kolonial Belanda?

Diterbitkan

pada

Kiri: Ritual Cioko di Klenteng Hok An Kiong sekitar 1900 (Natgeo). Kanan: Perlombaan panjat pinang masa kini. (Garry Andrew/Kompas).

Satu di antara lomba paling populer di masa Agustusan adalah panjat pinang. Kehadirannya selalu ditunggu karena seru. Tapi tahukah, bahwa panjat pinang ternyata berasal dari kebudayaan China, atas camput tangan Kolonial Belanda di Indonesia?

Panjat pinang adalah perlombaan yang paling dinantikan setiap Hari Kemerdekaan RI. Alasannya cuma satu, seru. Ya, permainan yang umumnya diikuti pria dewasa ini mempertontonkan kegigihan para peserta yang membuat tangga dengan tubuh mereka, demi mencapai puncak pinang setinggi belasan meter dan meraih hadiah yang tergantung.

Kalau sekadar memanjat, tentu mudah dan tak mengundang gelak tawa. Masalahnya, pohon pinang dilumuri dengan pelumas, sehingga membuat peserta kesulitan menaklukkannya.

Saat-saat mereka terpelorot dan terjatuh adalah yang paling penonton nantikan. Dari sana lah sumber tawa berasal. Tapi ketika peserta dengan gigihnya mampu mencapai puncak, kekaguman dan tepuk tangan membahana.

Sejarah Panjat Pinang

Panjat pinang dalam berbagai catatan telah melalui jalan panjang untuk sampai di rangkaian agenda perayaan HUT RI. Agni Malagina dalam catatannya di Natgeo Indonesia menyebut, perlombaan ini merupakan modifikasi dari kebudayaan China.

“Serupa tapi tak sama, atraksi panjat pinang mengingatkan saya pada sebuah atraksi panjat bambu berpelumas di sebuah daerah pesisir timur Taiwan, tepatnya di Toucheng, wilayah Yilan.”

“Panjat pinang di Toucheng, Taiwan diduga merupakan warisan dari Dinasti Qing, atau Manchu. Sebuah sumber menyebutkan bahwa tradisi panjat pinang muncul sekitar 1820-1850,” tulisnya, dikutip pada Senin 19 Agustus 2024.

Baca juga:   Duo Komika Samarinda Bikin Mini Show Expectashit: Menertawakan Kehidupan yang Tak Sesuai Ekspektasi

Aktivitas panjat bambu licin itu bukanlah perlombaan pembawa bahagia seperti sekarang. Melainkan perayaan Qianqu atau ‘grebeg arwah gentayangan’. Mereka merayakannya setiap tahun pada tanggal 15 bulan ke tujuh dalam kalender China.

“Perayaan itu dikenal juga dengan ‘bulan arwah’ atau ‘gui yue’ atau dalam perayaan umat Taois disebut juga zhongyuan. Biasanya bertepatan pada pertengahan Agustus atau awal September,” lanjut Agni.

Perayaan Halloween ala China

Bagi penganut agama Buddha, ritual ini sudah lazim mereka lakukan. Hanya saja namanya beda-beda di setiap negara. Ada yang menyebut Ulambana, atau di Jepang disebut Obon. Kalau di Indonesia disebut Cioko alias Sembahyang Rebutan. Bisa dibilang, ini adalah perayaan Halloween ala Negeri Tirai Bambu.

Menurut Stephen F.Teiser dalam bukunya The Ghost Festival in Medieval China, perayaan bulan arwah, yang  sejatinya berasal dari India, dilaksanakan besar-besaran pada masa Dinasti Tang (618-907) dan dilanggengkan hingga masa dinasti-dinasti berikutnya. Namun catatan resmi pertama mengenai upacara ini muncul pada masa Dinasti Ming pada 1368, masa kepemimpinan Kaisar Hong Wu.

“Seiring dengan migrasi orang China, perayaan itu pun tersebar di seantero Asia Timur sampai Asia Tenggara, termasuk di Indonesia,” kata Agni.

Menurut Nio Joe Lan dalam bukunya Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, perayaan Cioko pada awal abad ke-20 sangat ramai, bahkan “rebutan” sampai menyebabkan perkelahian besar. Pun di Singapura, sembahyang Cioko akhirnya dihapuskan pada 1906 akibat perkelahian dan menyebabkan banyak kerugian.

Baca juga:   Komentar Lengkap Pieter Huistra Usai Borneo FC Taklukkan Arema FC, “Rasanya Menyenangkan Bisa Balas Dendam”
Sembahyang Rebutan atau Cioko di muka Klenteng Hok An Kiong, sekitar 1920-an. (Nat Geo)

Dalam kepercayaan penganut Buddha, ada masa ketika pintu surga dan neraka dibuka, lalu para arwah kembali ke bumi untuk mendatangi keluarganya. Cioko, adalah ritual untuk menyambut kembali sementaranya para awrah tersebut.

Ritual Cioko juga dilakukan untuk arwah yang tak dapat menemukan keluarganya karena beberapa alasan. Semisal semasa hidupnya, ia ditelantarkan oleh keluarga.

Dari sisi non spiritual, Cioko bertujuan untuk berbagi dengan orang miskin.

“Belasan bilah pohon pinang berukuran besar nan licin berdiri menopang semacam panggung ringan berisi makanan sebagai simbol persembahan kepada para arwah. Setiap bilah batang pinang akan dipanjat oleh tim pemanjat yang terdiri dari 7 hingga 13 orang untuk beradu cepat mengambil makanan yang tersedia di puncak dan dibagikan kepada orang-orang duafa yang telah menantinya di bawah,” lanjutnya.

Proses Akulturasi Panjat Pinang

Masih berdasar tulisan Agni, perayaan panjat pinang dalam Cioko juga memiliki makna lain sebagai ‘garebek’ berebut makanan untuk mendapatkan berkah kebahagiaan, jauh dari bencana, dan memperoleh hasil panen yang baik.

“Makanan yang dijadikan persembahan terdiri atas aneka hidangan berbahan dasar daging, ikan, cumi, udang, babi, dan sayur-mayur. Makanan tersebut ditata pada panggung persembahan yang ditopang oleh batang-batang pinang dengan bendera di setiap puncaknya.”

Baca juga:   Kapal Wisata Pinisi Nusantara Jajal Teluk Balikpapan, Jembatan Pulau Balang Jadi Sajian Andalan

Dokumen lain yang mengabadikan sejarah Cioko di Indonesia berasal dari buku Marcus A.S berjudul Hari-hari Raya Tionghoa. Marcus mengungkapkan perayaan sembahyang ‘rebutan’ marak diadakan di klenteng-klenteng pada masa awal abad ke-20 dengan bentuk panggung panjat pinang yang lebih pendek dari bentuk panjat pinang di Toucheng, biasaya berlangsung pada pertengahan Agustus. Barangkali bentuk perayaan inilah yang menjadi inspirasi panjat pinang yang telah dimodifikasi dengan karakter Indonesia.

Sudah Ada sejak Era Kolonial Belanda

Sumber lain menyebut jika di era Kolonialisme Hindia Belanda, panjat pinang sudah ada. Para petinggi VOC menggelar acara ini sebagai ajang hiburan. Kegigihan rakyat jelata yang memburu hadiah di ujung pinang, membuat mereka melepas tawa tanpa sisa.

Seiring berjalannya waktu, Indonesia telah merdeka. Beberapa warisan Belanda masih ada. Satu di antaranya adalah panjat pinang. Bedanya, panjat pinang versi Indonesia tidak lagi menggantung bahan pangan di atas pinang. Melainkan barang-barang sekunder seperti peralatan masak, pakaian, elektronik, dan sejenisnya.

Bedanya lagi, panjat pinang versi Nusantara selalu menaruh bendera Merah Putih di atas. Peraih bendera itu akan mendapat uang tunai, dengan nilai yang bervariasi. Singkatnya, panjat pinang telah berkembang dari tradisi persembahan arwah dan berbagi berkah, ajang berebut makanan rakya di era penjajahan, sampai kini menjadi sarana hiburan sekaligus pemaknaan perjuangan. Karena di panjat pinang, semua orang harus berusaha sekuat tenaga, jatuh manjat lagi, sampai mencapai tujuannya. (dra)

Ikuti Berita lainnya di Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah Logo-Google-News-removebg-preview.png

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.