Connect with us

NUSANTARA

Akademisi Unmul Sebut Revisi UU TNI Bertentangan dengan Semangat Reformasi

Diterbitkan

pada

Akademisi Unmul Syaiful Bachtiar. (Dok Pribadi)

Pembahasan Revisi UU TNI mendapat protes dari banyak pihak. Akademisi Unmul Syaiful Bachtiar menyebut revisi oleh DPR RI tersebut bertentangan dengan semangat reformasi 98.

Belum juga selesai dengan masalah korupsi Pertamina dan penundaan pengangkatan CPNS 2024, jagat media sosial kembali ramai demgan adanya pembahasan Revisi Undang-Undang Tentang Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh Komisi I DRP RI.

Pembahasan UU No.34 Tahun 2004 itu dapat protes dari banyak pihak. Lantaran proses pembahasannya, dilakukan secara tertutup di sebuah hotel. Bahkan sempat didatangi oleh Koalisi Masyarakat Sipil, mereka menolak tegas.

Teranyar RUU TNI tersebut telah disetujui oleh seluruh fraksi. Dan segera disahkan dalam rapat paripurna. Dalam perubahan itu, aturan memberikan izin mengatur prajurit aktif TNI untuk bisa menduduki sejumlah jabatan sipil di beberapa kementerian dan lembaga.

Respons Akademisi Unmul

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Mulawarman (Unmul), Syaiful Bachtiar sebut upaya DPR RI dalam melakukan Revisi UU TNI secara diam-diam itu sangatlah bertentangan dengan semangat reformasi tahun 1998.

Syaiful menjelaskan, bahwa adanya penolakan pada revisi UU TNI tersebut sangat berdasar. Karena masyarakat Indonesia tidak akan lepas dari sejarah panjang pada masa orde baru yang kemudian berganti menjadi reformasi.

Baca juga:   Khidmat dan Semaraknya Tabligh Akbar Nuzulul Quran di Islamic Center Samarinda

Pada masa orde baru, masyarakat Indonesia telah mengalami masa ketika prajurit TNI bisa menempati jabatan sipil. Dan terjadi dwifungsi ABRI (kini TNI). Sementara perjuangan pada masa reformasi tahun 1998, bermaksud untuk mengembalikan fungsi tentara negara.

“Pada masa orde baru, TNI dan Polri masuk di semua lini pemerintahan dan partai, sehingga semangat reformasi 98, mengembalikan ABRI ke barak atau ke pos semula,” jelas Syaiful Bachtiar kepada Kaltim Faktual Rabu, 19 Maret 2025.

“Ketika masyarakat sipil masuk menjadi anggota TNI, ya harus sebagaimana tupoksinya, mempertahankan keamanan, menjaga batas wilayah, terjun ke daerah konflik, hingga ikut menjaga perdamaian dunia,” tambahnya.

Karena Indonesia punya pengalaman tersebut maka dikhawatirkan masa orde baru akan kembali terulang. Terlebih, jumlah kementerian atau lembaga yang bisa diduduki TNI dalam aturan baru, bertambah jadi 16 dari awalnya 10.

Dosen FISIP Unmul itu khawatir, nantinya akan ada dobel komando di lingkup pemerintahan. Bahkan ketika anggota TNI terjerat kasus, akan ada ketidakpastian pada peradilan hukumnya. Bahkan bisa sampai memunculkan konflik kepentingan antarlembaga di pemerintahan.

“Mestinya itu dikurangi, bukan malah ditambah (jumlah kementerian/lembaga),” tambahnya.

Pensiun Dini atau Mengundurkan Diri

Syaiful ingin bahwa TNI yang ingin masuk ke instansi di luarnya, bisa mengikuti proses yang terjadi pada Aparatur Sipil Negara (ASN). Maka dari itu, TNI harus pensiun dini, mengundurkan diri, atau berhenti sementara untuk aktif di kesatuannya.

Baca juga:   Pemerintah Percepat Pengangkatan CASN 2024, CPNS Paling Lambat Juni, PPPK Oktober 2025

“Kenapa TNI tidak mengikut saja seperti ASN. Kalau ASN kalau ditempatkan dalam instansi lain di luar home base kan wajib berhenti sementara,” sambung Syaiful.

“Kalau mau adil dengan ASN ya seperti itu dan berlaku untuk Polri juga. Mestinya berhenti sementara. Untuk menghindari konflik kepentingan antar lembaga. Agar tidak 2 komando. Kita harus tegak lurus.”

Adanya Revisi UU TNI tersebut menyurutkan semangat bahkan menggeser kesempatan dan posisi masyarakat sipil dalam pemerintahan. Jabatan yang seharusnya ditempati oleh masyarakat sipil, malah ditempati oleh militer.

“Setiap orang ketika masuk TNI harus siap dengan konsekuensinya, kalau mau berkarir di sipil, ya pensiun dini atau mengundurkan diri dan berhenti sementara.”

Fungsi DPR Dipertanyakan

Dengan melihat adanya sikap DPR RI yang membahas Revisi UU TNI secara diam-diam itu membuat fungsi DPR dipertanyakan. Malah saat ini tampak adanya ketidakpastian fungsi dari dewan perwakilan rakyat itu.

Baca juga:   Gelar Rapat Evaluasi dan Realisasi PAD 2024, Komisi II DPRD Bahas Strategi Optimalisasi

Jelas Syaiful, DPR memiliki 3 fungsi, yakni legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Sementara fungsi legislasi seharusnya punya dan mengedepankan skala prioritas aturan yang harus dibahas dan diketok palu.

Dalam Revisi UU TNI, DPR bahkan tidak menjalankan standar proses yang seharusnya. Seperti uji publik, sosialisasi, hingga minta pendapat masyarakat. Sementara undang-undang dibuat untuk mengatur urusan negara demi kepentingan publik.

“Undang-undang kan mengatur urusan publik, urusan negara untuk kepentingan publik, harusnya terbuka, terutama dengan masukan dan saran dari masyarakat.”

“DPR kan representasi dari masyarakat, wajib mendengar memperhatikan masukan dari masyarakat. Posisi DPR harusnya pro rakyat bukan pro pemerintah.”

Jika sudah ditolak dan Revisi UU TNI tetap dipaksakan untuk disahkan, menandakan bahwa birokrasi tidak profesional. Bahkan hal itu bisa menciderai kepercayaan publik atas wakil rakyat.

“Kalau proses formulasi kebijakan sudah benar, tidak akan jadi polemik. Ini sebenarnya jadi kepentingan siapa? Kalau DPR masih berkeras mengesahkan jadi tanda tanya kan.”

“Berarti masih 11 12 dengan zaman Presiden Jokowi. Malah lebih parah, mempertontonkan oligarki, kalau DPR mau tutup kuping udah ada niatan, berarti ada kepentingan kelompok tertentu,” pungkasnya. (ens/sty)

Ikuti Berita lainnya di Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah Logo-Google-News-removebg-preview.png

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.