Connect with us

GAYA HIDUP

Takut Salah Pilih? Begini Cara Atasi FOBO yang Berlebihan

Diterbitkan

pada

Akademisi psikolog Unmul, Ayunda Ramadhani. (IST)

Pernah merasa sulit mengambil keputusan karena takut ada pilihan yang lebih baik? Fenomena ini disebut FOBO, yang termasuk dalam ranah psikologi sosial. Supaya tidak sampai mengganggu kehidupan sehari-hari, nih, beberapa cara untuk mengatasinya.

Fear of Better Option (FOBO) bukanlah diagnosis klinis, tetapi jika berlebihan, bisa berdampak ke kehidupan sehari-hari.

Perbedaannya dengan FOMO, JOMO, dan YOLO

Setelah fenomena FOMO (Fear of Missing Out), JOMO (Joy of Missing Out), dan YOLO (You Only Live Once) ramai dibahas, kini giliran FOBO yang menjadi perbincangan di media sosial. Sama seperti FOMO, FOBO juga berakar dari rasa cemas.

FOMO: Ketakutan ketinggalan tren atau momen penting.

JOMO: Justru merasa bahagia dan puas memilih untuk melewatkan sesuatu.

YOLO: Semangat menikmati hidup dengan prinsip “hidup cuma sekali.”

FOBO: Takut mengambil keputusan karena khawatir ada opsi yang lebih baik di masa depan.

Baca juga:   Samarinda Book Party Menuju Satu Tahun, ‘Markas’ Jadi Harapan Utama

Jika dibiarkan, FOBO bisa membuat seseorang ragu dalam mengambil keputusan penting seperti memilih jurusan kuliah, pekerjaan, atau bahkan investasi.

Pandangan Psikologi: FOBO Bukan Diagnosis Klinis

Akademisi Psikologi Universitas Mulawarman, Ayunda Ramadhani, menjelaskan bahwa FOBO bukanlah gangguan klinis, melainkan fenomena sosial yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

“Setiap hari manusia dihadapkan pada berbagai pilihan. Dari yang sederhana seperti memilih makan siang hingga yang lebih besar seperti karier. FOBO terjadi ketika seseorang terlalu cemas dalam memilih, takut salah, dan akhirnya sulit mengambil keputusan,” jelas Ayunda kepada Kaltim Faktual.

Ia mencontohkan beberapa situasi FOBO dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang ingin berinvestasi di kripto tetapi ragu karena takut ada waktu yang lebih tepat untuk membeli. Atau lulusan SMA bingung memilih jurusan kuliah karena khawatir ada pilihan yang lebih baik nantinya.

Baca juga:   Kejurprov Hockey 2025 Berakhir, FHI Kaltim Dorong Atlet Bersiap Menuju Porprov Paser 2026

FOBO yang berlebihan bisa berdampak pada masa depan seseorang, terutama karena tidak ada keputusan yang benar-benar sempurna.

“Masa depan itu penuh ketidakpastian. Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya,” tambah Ayunda.

Selain itu, media sosial juga memperburuk FOBO karena terlalu banyak informasi dan pilihan yang membuat seseorang semakin bingung dan cemas.

Tips Mengatasi FOBO

Jika kamu merasa sering terjebak dalam FOBO, Ayunda menyarankan beberapa strategi berikut:

1. Batasi Pilihan

    “Jangan terlalu banyak pilihan. Saring opsi yang ada agar tidak terlalu membebani,” ujar Ayunda.

    Misalnya, jika bingung memilih tempat kuliah, cukup pilih 3-5 universitas terbaik yang sesuai dengan minat dan kemampuanmu, daripada mempertimbangkan terlalu banyak opsi.

    2. Gunakan Decision Matrix

      Untuk keputusan penting seperti pendidikan atau karier, kamu bisa menggunakan decision matrix, yaitu metode membandingkan beberapa opsi berdasarkan kelebihan, kekurangan, keuntungan, dan risikonya.

      Baca juga:   Praktik Oligarki di Indonesia Kian Vulgar, Akademisi Unmul Angkat Suara

      “Tulis semua pilihan dan buat perbandingan untung-ruginya. Ini membantu melihat mana yang paling rasional,” saran Ayunda.

      3. Jangan Takut Mengambil Keputusan

        Tidak semua keputusan harus sempurna. Yang penting adalah berani memilih dan bertanggung jawab atas konsekuensinya. Jika terus menunda, kamu bisa kehilangan banyak kesempatan berharga.

        4. Kurangi Konsumsi Media Sosial Berlebihan

          Terlalu banyak melihat kehidupan orang lain di media sosial bisa membuatmu semakin ragu dengan pilihan sendiri. Kurangi scrolling berlebihan dan fokus pada apa yang benar-benar kamu butuhkan.

          5. Jangan Self-Diagnose, Cari Bantuan Jika Diperlukan

            FOBO bukan gangguan mental, tetapi jika kecemasan berlebihan mengganggu kehidupan sehari-hari, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional.

            “Kalau intensitasnya berlebih dan tidak bisa diatasi sendiri, tidak ada salahnya berkonsultasi dengan psikolog,” pungkas Ayunda. (ens/sty)

            Ikuti Berita lainnya di Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah Logo-Google-News-removebg-preview.png

            Bagikan

            advertising

            POPULER

            SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
            Hello. Add your message here.