Connect with us

NUSANTARA

Praktik Oligarki di Indonesia Kian Vulgar, Akademisi Unmul Angkat Suara

Diterbitkan

pada

Akademisi Unmul, Syaiful Bachtiar. (Dok. Pribadi)

Oligarki di Indonesia kian terang benderang. Akademisi Unmul, Syaiful Bachtiar, menyoroti kebijakan yang dianggap semakin jauh dari kepentingan rakyat. Dari kelangkaan LPG subsidi hingga kebijakan kampus kelola tambang, ia menilai pemerintah perlu introspeksi sebelum gejolak sosial semakin meluas.

Belakangan ini, masyarakat dihadapkan pada berbagai tantangan sosial dan ekonomi yang semakin meningkat. Mulai dari kelangkaan gas LPG subsidi, pemangkasan anggaran yang berbarengan dengan pengangkatan staf khusus baru, wacana kampus mengelola tambang, gelombang PHK, rendahnya prioritas terhadap pendidikan, hingga polemik program Makan Bergizi Gratis.

Kondisi ini memicu gelombang protes dari mahasiswa di berbagai daerah yang menolak kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.

Aksi demonstrasi besar-besaran pun terjadi, dengan tagline Indonesia Gelap yang menggambarkan situasi yang semakin memburuk. Di media sosial, tagar #KaburAjaDulu banyak digunakan sebagai bentuk sindiran terhadap kondisi yang dinilai kacau.

Namun, yang lebih memprihatinkan adalah sikap para pejabat negara yang dinilai kurang peduli terhadap kondisi ini. Respons mereka kerap terkesan acuh tak acuh, bahkan dalam beberapa kesempatan melontarkan pernyataan yang dinilai tidak pantas.

Baca juga:   UU Minerba Berpotensi Jebak Kampus, Pemerintah Harus Transparan soal Skema Penerimaan Manfaat

Pandangan Akademisi

Menurut Syaiful Bachtiar, tagar #KaburAjaDulu adalah bentuk satire terhadap kondisi dalam negeri yang sedang tidak baik-baik saja. Ia menilai keresahan ini merupakan refleksi dari kekecewaan masyarakat secara kolektif.

“Banyak kebijakan yang dikeluarkan secara sepihak oleh mereka yang berkuasa, tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat secara luas,” ujar Syaiful kepada Kaltim Faktual, Sabtu, 22 Februari 2025.

Ia juga menyoroti respons para pejabat yang menunjukkan cara berpikir kekuasaan yang tidak seharusnya. Menurutnya, mereka merasa tidak ada kekuatan yang bisa melawan atau mengkritisi kebijakan mereka.

“Saat ini, praktik oligarki di Indonesia semakin vulgar dan diperlihatkan secara terang-terangan. Padahal, dalam sistem demokrasi, kekuasaan seharusnya berada di tangan rakyat,” tegasnya.

Lebih lanjut, Syaiful mengkritisi dominasi kelompok tertentu dalam lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. “Yang berkuasa hanya segelintir orang, padahal kekuasaan sejatinya adalah milik rakyat,” tambahnya.

Baca juga:   Revisi UU Minerba Disahkan, JATAM: DPR RI Tak Wakili Rakyat dan Perangkap untuk Kampus

Proses Pengambilan Kebijakan Tidak Berjalan

Syaiful juga menilai bahwa proses pengambilan kebijakan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kebijakan seharusnya dibuat melalui proses ilmiah yang teruji dan melibatkan masyarakat dalam pembahasannya.

“Jika kebijakan banyak mendapat penolakan, itu berarti memang tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Pemerintah seharusnya tidak melihat masyarakat hanya sebagai objek,” jelasnya.

Ia juga mengkritisi kebijakan efisiensi anggaran yang dinilai terlambat. “Menteri Keuangan sudah menjabat sejak era Jokowi. Kalau memang mau efisiensi, kenapa baru sekarang?” ujarnya.

Syaiful juga menyinggung masalah tunjangan dosen yang hingga kini belum dibayarkan pemerintah. “Ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap dunia pendidikan masih rendah,” tambahnya.

Pemerintah Harus Introspeksi

Dosen FISIP Unmul itu menilai bahwa pejabat pemerintah dan partai politik lebih banyak memainkan drama dibanding menyelesaikan masalah. Ia menyoroti DPR yang seharusnya menjalankan fungsi kontrol, tetapi justru tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Baca juga:   Suara Masyarakat Adat Terdampak IKN, Sibukdin: Hak Kami Masih Terabaikan

“Yang mengisi jabatan selalu orang yang sama. Seharusnya mereka fokus menyelesaikan masalah, bukan mempertontonkan pernyataan dan tindakan yang tidak pantas,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa pejabat yang tidak berempati terhadap rakyat tidak layak mengurus negara. Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk introspeksi dan menghentikan kekacauan yang terjadi.

“Kebijakan harus dibuat berdasarkan logika dan kondisi nyata masyarakat. Jika terus seperti ini, protes akan semakin besar dan berujung pada gejolak politik berkepanjangan,” tambahnya.

Akademisi dan mahasiswa, menurutnya, akan terus menyuarakan aspirasi rakyat jika kebijakan yang diambil tidak mengalami perbaikan. “Pemerintah harus mengevaluasi cara mereka mengambil keputusan. Jika tidak, energi yang seharusnya digunakan untuk membangun bangsa justru akan habis untuk menghadapi gelombang protes,” tutupnya. (ens/sty)

Ikuti Berita lainnya di Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah Logo-Google-News-removebg-preview.png

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.