SAMARINDA
Carut-Marut Sistem Parkir Tepi Jalan di Samarinda, Begini Solusi dari Pengamat

Sistem parkir tepi jalan di Samarinda didapati masih carut marut. Utamanya sistem bagi hasil yang tidak seimbang antara jukir dan pemkot. Begini solusi dari Pengamat Ekonomi Purwadi.
Wali Kota Samarinda Andi Harun beberapa waktu lalu, tengah giat ke inspeksi mendadak (sidak) ke lapangan. Mendatangi sejumlah titik, dan mendapati berbagai temuan tentang masalah di kota ini.
Salah satunya masalah parkir tepi jalan di Kota Samarinda yang kedapatan masih carut marut. Hal yang paling mendasar bagi hasil penghasilan parkir yang tidak ideal. Terlebih sistemnya yang juga masih berantakan.
Belakangan, Andi Harun mendapati juru parkir yang menjadi binaan Dinas Perhubungan (Dishub) Samarinda, menggunakan sistem bagi hasil 70:30. Masing-masing untuk jukir dan Pemkot Samarinda.
Sementara realita di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Para jukir binaan hanya memiliki kewajiban menyetor iuran sebesar Rp70 ribu per minggu. Terlepas dari besar kecilnya pendapatan hasil parkir harian. Bahkan sejumlah jukir melakukan setoran sesuka hatinya.
Salah seorang jukir di kawasan Abul Hasan misalnya baru menyetor uang sebesar Rp50 ribu dari kewajiban Rp70 ribu meski tenggat waktu setoran sudah lewat. Sementara pendapatan seluruhnya, bisa jadi jauh lebih besar dari itu.
“Saat ini Dishub seperti mengikuti kemauan jukir, bukan sebaliknya,” kata Andi Harun belum lama ini.
Tanggapan Pengamat
Pengamat Ekonomi asal Universitas Mulawarman Purwadi Purwoharsojo ikut menyoroti sistem parkir di Samarinda, yang menurutnya merupakan hal klasik yang tidak pernah usai.
Dia menyebut, sistem tata kelola parkir yang amburadul bukanlah hal baru. Padahal, retribusi parkir tepi jalan punya nominal yang tak sedikit. Yang seharusnya bisa menjadi tambahan pendapatan daerah.
“Itu duit lari kemana kan enggak pernah ketahuan. Padahal itu kan uang berhambur di jalan berpotensi menjadi PAD yang cukup besar.”
“Dari dulu masalah parkir ini ada terus, nggak pernah selesai. Harus ada pembenahan,” jelas Purwadi kepada Kaltim Faktual belum lama ini.
Perbaiki Database
Selama ini, Dishub tampak kesulitan mengatur titik-titik parkir di tepi jalan, yang resmi dengan jukir binaan dan parkir liar yang tidak masuk pengelolaan. Masyarakat pun kerap sulit untuk membedakannya.
Sejak lama Dishub juga berupaya mengatur sistem parkir di tepi jalan. Misalnya sempat menerapkan pembayaran non-tunai, namun dalam realisasinya sulit. Termasuk pemberantasan jukir liar, pun belum maksimal.
Menurut ekonom Kaltim ini, langkah pertama yang harus dilakukan Dishub, ialah membenahi sistem tata kelola parkir dengan memperbaiki database seluruh kantong parkir yang ada di Samarinda.
“Dishub itu punya enggak data base kantong-kantong parkir? Nah dari dulu, ini kan enggak pernah beres di mana kantong parkir, jumlahnya berapa,” kata Purwadi.
Dishub harus memiliki pemetaan titik-titik parkir tepi jalan di Samarinda. Lalu melakukan pengawasan dan pemantauan dengan ketat. Baik itu melalui CCTV, juga memperketat dengan pemantauan berkala oleh petugas.
“Sebenarnya, itu hal mudah, pasang saja CCTV di semua titik kantong parkir yang bisa dipungut. Di warung-warung, Indomaret, Alfamidi, di Gacoan.”
Singkatnya, penerapannya seperti mekanisme CCTV pemantau banjir. Sejalan dengan konsep smart city yang selama ini menjadi ide bagus dari Wali Kota Samarinda.
Jukir Digaji UMR
Terkait bagi hasil 70:30 antara jukir dan pemkot, Purwadi justru heran. Menurutnya. Ngapain pakai bagi hasil segala? Sementara lahan tersebut bukan milik pribadi si jukir. Seharusnya nggak perlu.
“Kan saya pernah nanya tuh, berapa orang yang jukir binaan, berapa bagi hasilnya. Saya baca di koran katanya 70:30. Siapa yang buat aturan begitu? Itu bisa jadi perkara lo, hati-hati.”
Ketimbang bagi hasil, Purwadi menyarankan pemkot menggaji jukir setara UMR dengan sistem bulanan. Sehingga pemkot punya wewenang penuh terhadap pendapatan hasil parkir tepi jalan.
“Hitung-hitungannya gini, kalau di ekonomi itu ada prediksi bisnis memungut tarif parkir akan mendapat nominal sekian milyar. Lalu untuk gaji, 10 persen dari total penghasilan per tahun itu,” sambung Purwadi.
“Beri saja mereka gaji setara UMR. Ini wilayah kan, yang punya pemerintah. Tidak perlu lah bagi hasil.”
Libatkan Akademisi
Agar pemerintah tak kesulitan membuat sistem atau kebijakan, selain mendengar keluhan masyarakat, ada baiknya pemkot kerap menggandeng akademisi.
Justru dengan menggaet akademisi, pemkot bisa membuat kebijakan yang lebih oke dan bermanfaat untuk masyarakat. Terlebih akademisi pun punya tanggung jawab memberi masukan terkait kebijakan.
“Punya akademisi apa susahnya sih? Jelas harus melibatkan mereka,” pungkasnya. (nkh/ens)


-
KUKAR5 hari yang lalu
Babak Baru Kasus Eks Bupati Kukar Rita Widyasari, KPK Geledah Rumah Ketua PP, Sita 11 Mobil Mewah
-
SAMARINDA5 hari yang lalu
Cap Go Meh Art and Culture Festival: Ada Bazar Makanan Vegetarian hingga Panggung Kesenian
-
SAMARINDA5 hari yang lalu
Pengunjung Perpustakaan Kota Samarinda Meningkat, Kini Buka hingga Malam Hari
-
HIBURAN5 hari yang lalu
Tiba-Tiba Sparring Vol.3 Hadir Lebih Meriah, 20 Fighter Amatir dan Profesional Siap Tanding
-
SAMARINDA2 hari yang lalu
Edu Park Samarinda: Belum Rampung, Tetap Jadi Favorit Anak-Anak
-
NUSANTARA5 hari yang lalu
Anggaran Transfer ke Daerah Resmi Dipotong Rp 50,59 Triliun
-
POLITIK5 hari yang lalu
Pelantikan Kepala Daerah Diundur 20 Februari, Calon Gubernur Kaltim Berpotensi Ikut Dilantik
-
SAMARINDA4 hari yang lalu
Anggaran Pendidikan Kena Pangkas, Guru Besar Unmul: Harus Pilah Prioritas