GAYA HIDUP
Kenali Dampak Pertanyaan Sensitif saat Hari Raya yang Bisa Timbulkan Trauma

Hari Lebaran jadi momen untuk bersilaturahmi dengan keluarga. Tapi, beberapa orang justru menghindari pertemuan ini karena sering ditanya hal sensitif seperti “Kapan menikah?” atau “Kapan lulus?” Menurut Dosen Prodi Psikologi Unmul, pertanyaan seperti ini bisa membuat seseorang trauma. Bagaimana bisa?
Budaya mengunjungi kerabat saat Idulfitri sudah menjadi tradisi di Indonesia. Biasanya, orang yang sudah lama tidak bertemu akan saling bertukar kabar. Di momen ini kemudian banyak pertanyaan muncul, termasuk yang terasa sensitif bagi sebagian orang.
Dosen Program Studi (Prodi) Psikologi Unmul, Ayunda Ramadhani, menjelaskan bahwa bagi kerabat yang lama tak berjumpa, basa-basi ini adalah cara memulai percakapan. Mereka sebenarnya tidak bermaksud menyakiti. Namun, terkadang pertanyaan ini berubah jadi ajang membandingkan kehidupan.
Bisa Membuat Seseorang Trauma
Fenomena pertanyaan sensitif saat berkumpul di momen Lebaran bukan hanya sekadar basa-basi, tetapi bagi sebagian orang bisa berdampak lebih jauh, bahkan hingga menimbulkan trauma.
Ayunda mengatakan bahwa ada individu yang sampai merasa cemas berlebihan saat menjelang Lebaran karena takut menghadapi pertanyaan-pertanyaan tersebut.
“Jadi memang fenomena ini setiap tahun terjadi ya, bahkan bagi beberapa orang bisa menjadi trauma tersendiri ketika berkumpul dengan keluarga besar,” ungkapnya.
Dampak ekstremnya, ada individu yang memilih untuk benar-benar menghindari momen silaturahmi. Mereka mengunci diri di kamar setelah salat Id atau bahkan membuat alasan untuk tidak hadir dalam acara keluarga.
Sementara itu, ada pula yang tetap datang tetapi merasa tidak nyaman sepanjang pertemuan, bahkan bisa mengalami stres berkepanjangan setelahnya.
Jika dibiarkan terus-menerus, kondisi ini bisa mengarah pada gangguan psikologis yang lebih serius. “Kalau tidak teratasi, setiap momen Lebaran bisa menjadi traumatis. Bahkan ada yang sampai susah tidur karena memikirkan pertemuan dengan saudara yang sering bertanya hal-hal sensitif,” tambah Ayunda.
Dari Ekspektasi hingga Krisis Identitas
Adapun rasa cemas yang sering kali muncul adalah akibat dari ekspektasi sosial yang tidak terpenuhi. Masyarakat memiliki standar tertentu mengenai tahapan kehidupan, seperti kapan kuliah harus selesai ataupun kapan seseorang harus menikah.
“Kita hidup di masyarakat yang penuh ekspektasi. Misalnya, usia 18 tahun harus kuliah, 20-an harus lulus, menikah, punya anak, dan seterusnya. Kalau tidak sesuai, kita dianggap tidak memenuhi standar sosial,” jelas Ayunda.
Dari ekspektasi sosial tersebut kemudian muncul perbandingan dengan anggota keluarga lain. Pertanyaan sensitif sering kali diikuti dengan komentar seperti, “Coba lihat sepupumu, dia sudah kerja di perusahaan besar,” atau “Saudara kita yang lain sudah menikah dan punya anak.”
Akibatnya, seseorang bisa mengalami krisis identitas. Mereka mulai mempertanyakan diri sendiri: “Kok aku belum mencapai itu semua?” Pikiran-pikiran seperti ini bisa memicu kecemasan yang lebih dalam dan bahkan menurunkan rasa percaya diri.
Jika terus terjadi, seseorang bisa mengalami ketakutan sosial dan memilih menghindari pertemuan keluarga sama sekali.
Tips Agar Tetap Tenang: Doakan dan Sebisa Mungkin Hindari Konflik
Menghadapi pertanyaan sensitif saat Lebaran memang tidak mudah, tetapi ada beberapa cara untuk mengatasinya agar tetap tenang dan tidak terbawa emosi.
“Cara paling mudah adalah tarik napas dan atur perasaan agar tetap tenang. Karena saat bertemu orang-orang yang membuat kita cemas, detak jantung biasanya lebih cepat,” ujar Ayunda.
Dengan mengontrol napas, seseorang bisa lebih rileks dan tidak terpancing emosi saat menjawab pertanyaan yang sensitif.
Jika mendapat pertanyaan yang sensitif, jawaban netral dan tidak memancing perdebatan bisa menjadi solusi.
“Sampaikan dengan tenang, misalnya dengan berkata, ‘Mohon doanya saja.’ Itu cukup netral,” tambahnya.
Mengurangi interaksi langsung juga bisa menjadi strategi. Misalnya, dengan menyibukkan diri dalam kegiatan seperti membantu menyiapkan makanan atau bermain dengan sepupu yang lebih kecil.
Hal ini bisa mengurangi kemungkinan terjebak dalam percakapan yang tidak nyaman.
Bagi yang merasa sangat terganggu, berbicara secara asertif atau lebih tegas kepada saudara yang seumuran bisa menjadi pilihan.
“Untuk yang sebaya, kita bisa bilang, ‘Ini kan momen Lebaran, lebih baik kita bahas yang lain.’ Tapi untuk orang yang lebih tua, sebaiknya tetap dengan cara yang sopan agar tidak menimbulkan konflik karena adanya gap year bisa jadi ada perbedaan dalam komunikasi,” saran Ayunda.
Yang paling penting, Ayunda menegaskan bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidupnya masing-masing. Tidak semua orang harus mengikuti standar yang sama, dan tidak ada kewajiban untuk memenuhi ekspektasi sosial tertentu.
“Setiap orang punya temponya sendiri, maka tidak perlu terpengaruh dengan omongan-omongan orang lain. Pahami bahwa memang sejatinya tiap manusia itu perjalanan hidupnya enggak sama,” tutupnya. (tha/sty)


-
SEPUTAR KALTIM2 hari yang lalu
Program Gratis Pol Diresmikan, DPRD Kaltim Ingatkan Perguruan Tinggi soal Kualitas
-
SEPUTAR KALTIM2 hari yang lalu
Komisi II DPRD Kaltim Murka, Usir Perwakilan Perusahaan Penabrak Jembatan Mahakam
-
SAMARINDA3 hari yang lalu
Yamaha Kaltim Area Samarinda, Kembali Gelar Gathering Bersama Loyal Customer Fazio
-
SEPUTAR KALTIM4 hari yang lalu
Elhamsyah Beberkan 10 Tugas Rahasia KUA: Tak Cuma Nikah, tapi Juga Urus Bencana hingga Wakaf!
-
OLAHRAGA2 hari yang lalu
Kejuaraan Catur Kaltim Fide Rated International 2025 Dibuka, Diikuti 122 Peserta dari Lima Negara
-
SEPUTAR KALTIM2 hari yang lalu
Jembatan Mahakam I Ditabrak Tongkang, DPRD Kaltim Desak Penutupan Sementara
-
SEPUTAR KALTIM3 hari yang lalu
Darlis Gelar Penguatan Demokrasi Bertema “Human Security”, Ajak Masyarakat Bijak Memilih Pemimpin
-
SEPUTAR KALTIM4 hari yang lalu
Ancaman Dominasi Militer Menguat: Komite Basis Jurnalis Perempuan Mahardhika Samarinda Galang Solidaritas