FEATURE
Samarinda dari Mata Es Pernyata: Kampung yang Bergerak Jadi Metropolitan

“Sesungguhnya kalau ingat Samarinda tahun 70-an, terasa benar bahwa Samarinda seperti sebuah kampung besar bernama kecamatan.”
Oleh: Syafruddin Pernyata, Penulis dan Sastrawan Kaltim
Aku mulai membuka kisah kepada tiga orang peneliti yaitu Dr. Muslimin A.R Effendy, M.A (Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya), Dr. Sarkawi B. Husain, M. Hum (ahli sejarah kota/ Ketua Departemen Sejarah FIB Unair), Dr. Ilham Daeng Makkelo, M.Hum (ahli sejarah kota/ Ketua Departemen ilmu sejarah FIB Unhas).
Ini adalah pertemuan kedua setelah malam sebelumnya. Pada malam pertama, hadir juga Dr. Husnul Fahimah Ilyas, MA (ahli filologi/ peneliti BRIN).
Pertemuan kedua ini aku didampingi Ramadhan S Pernyata, anakku. Dia sengaja kuajak menemani gara-gara sampul buku antologi cerpenku, Summa Cum Laude dan novel Lelaki Kampong Aer.
Sarkawi dan Ilham Daeng mengomentari gaya ilustrasi itu terasa ada ‘napas’ Peter van Dongen. Komikus berkebangsaan Belanda ini lahir di Amsterdam 21 Oktober tahun 1966 dikenal akan karyanya tentang Indonesia pada masa penjajahan Belanda, yaitu “Rampokan Jawa” (1998) dan “Rampokan Celebes” (2004).
Atas komennya itu lalu kujelaskan bahwa Ramadhan berteman baik dengan Van Dongen dan bertukar karya. Ramadhan memberi cerita bergambar Ratusan Korban Sanga-Sanga, Van Dongen memberi Rampokan Jawa dan Rampokan Celebes.
PUSAT KOTA
Sambil minum ‘teh sore’ di Odah Betemu Taman Salma Shofa, Rabu, 12 Oktober 2022 , saya ceritakan bahwa tahun 70-an itu, jalan-jalan kota yang dikenal ialah jalan sepanjang tepian Mahakam, dari Sungai Kunjang hingga Jembatan Satu (Yos Sudarso), Jalan Panglima Batur Satu hingga Empat (Sudirman-Mulawarman) dan Jalan Diponegoro. Adapun Jalan Basuki Rahmat sekarang masih disebut Jalan Baru ya karena dianggap baru. Di kemudian hari disebut Jalan Ahmad Yani, kemudian berubah menjadi Jalan Basuki Rahmat.
Selain jalan itu, ialah jalan sepanjang tepi anak sungai Mahakam bernama Karang Mumus yang terus melingkar tembus ke Jalan Tarmidi, Abul Hasan hingga Pasar Pagi sekarang.
Di kawasan tengah, ada yang kita kenal sebagai Jalan Niaga Barat, Sebatik, arah Jalan Imam Bonjol, Ahmad Dahlan, Lambung Mangkurat (Sungai Pinang Dalam-ketika itu).
Di bagian ulu kota, yang paling dikenal adalah Jalan Air Putih hingga ke Pal Lima (Sekarang dikenal sebagai jalan Pangeran Antasari dan Pangeran Suryanata).
Selainnya memang banyak jalan-jalan kecil pemukiman yang lebih dikenal sebagai kawasan permukiman, seperti Sungai Dama, Sidomulyo, Sungai Pinang Luar, dan Sungai Linang Dalam, Jalan Banjar, Karang Mumus, Sidodadi, Kampung Jawa, Kampung Bugis, Teluk Lerong, Karang Asam, Sungai Kunjang, Air Putih.
Segiri, Gunung Kelua, Sempaja, Gunung Jabung, Solong, Temindung, Lok Bahu, Loa Buah, lebih terasa sebagai kampung dengan jalan setapak.
Di sebelah Ilir Sungai Karang Mumus ada Kampung Selili, Sungai Kerbau, Sungai Kapih, Sambutan yang masih berupa jalan tanah.
Di seberang juga penamaan lebih dikenal dengan menyebut nama kampung seperti Sungai Keledang, Rapak Dalam, Kampung Mesjid dan kampung Baqa. Di ilirnya lagi adalah Palaran dan Sanga-Sanga (sempat menjadi wilayah pemerintahan Samarinda)
GELOMBANG MIGRASI
Meskipun terasa ‘kampung’ daripada kota, Samarinda di akhir tahun 60-an menjelang tahun 70-an sudah gegap gempita dan terkenal se-Indonesia.
Perantau dari luar — menurut yang saya ketahui — dapat disebut sebagai migrasi gelombang kedua. Gelombang pertama adalah era sebelum kemerdekaan yaitu era tambang batubara (zaman penjajahan Belanda). Gelombang kedua ini dikenal sebagai era emas hijau yaitu hasil hutan berupa logs dan belambangan. Inilah era ‘banjir kap’. Kayu ditebang secara manual, digelontorkan melalui sungai dengan sistem kuda-kuda dan dihilirkan ke sungai Mahakam dengan rakit.
HIBURAN MALAM
Bersamaan dengan era mas hijau inilah Pasar Pagi menjadi pusat perbelanjaan paling ramai, disusul dengan pusat hiburan malam yang dikenal sebagai Taman Hiburan Gelora (THG). Konon meniru konsep Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Pada masa ini, Samarinda sudah punya (tempat) hiburan malam yang biasa disebut night club, yaitu MCC, Bidadari Mahakam dan Lamin Indah Night Club, menyatu dengan hotel Lamin Indah.
THG meredup karena Pemerintah kota (Zaman Walikota Kadrie Oening) membangun Pusat Perbelanjaan Pinang Babaris (Shopping Centre, dikenal juga sebagai Kaltim, karena di kawasan tersebut ada Kaltim Teater.
Era Emas hijau masih berlanjut tetapi ‘tidak merakyat’ karena harus dilindungi perizinan yang lebih ketat berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Setiap pemegang HPH pasti punya izin, punya peralatan mekanik karena penebangan tidak boleh lagi pakai beliung (sejenis kapak berhulu panjang dan lentur) diganti dengan chainsaw diangkut dengan alat berat. Batas antarkawasan juga sudah lebih jelas, setidaknya di dalam peta.
PUSAT PERBELANJAAN
Era ini (awal tahun 80-an), Samarinda mulai mengenal supermarket. Pertama kali Anna Supermarket yang setelah terbakar tidak dibangun kembali. Kemudian hadir Gajahmada Departemen Store (hingga sekarang masih ada).
Ramainya penggunaan istilah mal dan plaza di Jakarta dan kota besar seperti Bandung dan Surabaya, menjalar ke Samarinda.
Mal Mesra Indah adalah mal pertama, didirikan pertengahan tahun 1980-an. Penamaan mal ini sempat jadi buah bibir karena menggunakan kata ‘mesra.’ Bahkan istri walikota Kadrie Oening termasuk yang mempertanyakan penggunaan kata Mesra.
Akan tetapi, pemilik mal ini, H. Rusli menyebut bahwa kata mesra dalam kehidupan keluarga. Hubungan keluarga harus mesra. Bahkan urusan masak-memasak saja harus dilandasi perasaan mesra agar yang dimasak terasa enak.
Lebih dari itu, mesra juga mengacu pada Hotel Mesra, hotel bintang empat pertama di kota ini. Hotel ini dibangun menjelang penyelenggaraan MTQ Nasional 1976 yang pusat penyelenggaraannya dilaksanakan di Mesjid Raya Samarinda. Mesjid Raya disingkat sebagai mesra.
Kata mesra itu pula yang dilekatkan pada Mal Mesra. Masa itu, jalan di depan mal lebih dikenal sebagai Jalan Mesjid Raya. Oleh putra H. Rusli, mesra juga sebagai cita-cita ‘mesti ramai.’ Banyak kisah dan kenangan tentang mal pertama ini. Insya Allah pada suatu saat, akan kutulis secara khusus.
Pemerintah Kota Samarinda membangun Plaza Samarinda Indah — seingat penulis dikerjasamakan dengan sebuah perusahaan — yang dikemudian hari dikenal juga sebagai Plaza 21.
Kehadiran Plaza Samarinda sempat ramai dikunjungi karena menggunakan eskalator untuk penghubung antar lantai.
Rupanya, kehadiran ini sedikit banyak menggerus pengunjung Mal Mesra. Hanya dalam hitungan 1-2 tahun, Mal Mesra dipugar, diperluas dan ditambah lantainya. Penghubung antarlantai pun menggunakan eskalator. Mal Mesra ramai kembali. Justru Plaza Samarinda Indah mulai ditinggalkan dan belakangan jadi pusat hiburan malam, sebelum ditinggalkan dan menyisakan satu dua toko di bagian luar depan
pusat perbelanjaan terus tumbuh. Di simpang empat Vorvo, eks kebun bintang, berdiri Gedung wanita dan SKKA, pindahan dari Jalan Yaqob. Kedua gedung ini kemudian dipindahkan letaknya, termasuk terminal Bontang.
Di sini kemudian dibangun Mal Lembuswana, kerja sama Pemprov Kaltim dan perusahaan, kalau tidak salah namanya CSIS.
Mal Lembuswana masih bertahan dan cukup diminati meski lahir pusat perbelanjaan baru sesudahnya karena dianggap punya kemudahan parkir. Selain itu, kehadirannya disertai dengan tenan terkenal Matahari dan Hero serta Gramedia dan Permainan anak-anak Time Zone. Sejak itu, simpang vorvo lebih dikenal sebagai Simpang Lembuswana.
Geliat pusat perbelanjaan tidak berhenti. Lahir lagi Samarinda Centra Plaza (SCP), 12 November 2001 di Jalan Pulau Irian. Lokasi SCP tidak jauh dari Pelabuhan dan Kampung Pecinan yang sunyi di malam hari.
Gedung berlantai 5 dengan lift dan eskalator ini diserbu warga karena dianggap lebih modern dengan penyewa besar yang sudah terkenal sebagai perusahaan skala Nasional maupun Internasional.
Ramainya pengunjung tidak lepas juga dengan hadirnya bioskop berjejaring nasional dengan standar pelayanan dan kelengkapan jauh lebih baik dibanding bioskop tahun 90-an.
Minat untuk membangun pusat perbelanjaan tetap tinggi, buktinya hadir lagi Plaza Mulia yang berdampingan dengan Hotel Sellica.
Plaza Mulia (PM) sempat ramai karena tenannya dianggap ‘lebih berkelas’, lokasinya berada benar-benar di jantung kota, tepatnya di Jalan Bhayangkara, berhadapan dengan hotel bintang 4 pertama (Hotel Mesra) dan GOR Segiri dan Balaikota.
Beberapa warga mengatakan, kelemahan PM hanyalah soal parkir yang berbentuk spiral dan tidak akrab bagi warga kota.
Kondisi ini juga dipengaruhi mal baru bernama Samarinda Square (yang dilengkapi bioskop) sebagaimana juga di SCP.
PM kemudian meredup. Lebih-lebih saat pandemi Covid-19 melanda. Padahal, PM sudah dilengkapi bioskop CGV.
Meski demikian, pengunjung masih ada, terutama yang hobi nonton. Selain itu, inilah pusat perbelanjaan yang menyediakan masjid refresentatif yang cukup luas bisa menampung ratusan jamaah. Apalagi, Hotel Sellica tetap ramai karena lokasinya memang strategis di pusat kota.
Beberapa warga kepada penulis menyarankan agar manajemen PM mengubah strategi PM dengan mengubah target pasar yang lebih spesifik, misalnya elektronik sebagaimana ada di Bandung, Jakarta, dan Surabaya.
Agaknya, kehadiran Plaza Mulia tidak mengurangi minat berinvestasi properti. Tahun 2010 dibangun lagi pusat perbelanjaan, diberi nama Samarinda Square di jalan M. Yamin yang tidak jauh dari Mal Lembuswana.
Samarinda Square (SS), 4 lantai, kadang juga disebut sebagai Mal Robinson dan Ramayana, cukup diminati. Sempat redup dibanding pendahulunya yang punya bioskop, akhirnya bioskop serupa hadir di SS. Ini bisa mendongkrak jumlah pengunjung dan tetap ramai, karena berada di jantung kota dan relatif masih nyaman parkir.
Tak berselang lama, di bagian hulu kota Samarinda warga dikejutkan lagi oleh berdirinya gedung yang lebih luas dan belakangan diketahui sebagai Big Mall.
Kehadiran Big Mall sebagai pusat perbelanjaan dianggap sebagai mal terbesar di Kalimantan.
Diresmikan 23 Oktober 2014, Mal ini pun jadi pusat perbelanjaan baru yang dianggap terlengkap dan terbaik di Kalimantan.
Mal berlantai 7 ini menyediakan ruang parkir luas dan dengan tenan terkenal berjejaring mancanegara. Mal yang terletak di Jalan Untung Suropati ini relatif jauh dari pusat kota juga dan itu pula agaknya yang menyebabkan pusat perbelanjaan sebelumnya tetap eksis.
Mal ini dilengkapi bioskop, toko buku ternama, penyedia meubeler dan peralatan rumah tangga terkenal. Mungkin dalam waktu 1 atau 2 tahun ini, akan diresmikan pula hotel bintang (minimal bintang 4), berjejaring internasional.
Selain perbelanjaan di atas, sebenarnya masih ada lagi Ekstra Alaya yang dikenal sebagai Giant.
Ekstra Alaya, meski belakangan berdiri, namun lebih dulu tutup. Agaknya, selain karena tidak lebih lengkap dari pendahulunya juga serbuan belanja online yang semakin mendesak perbelanjaan offline.
Tidak hanya di Samarinda, pusat perbelanjaan yang dulu dikenal sebagai Hero Supermarket dikabarkan akan mengubah strategi dan kembali menggunakan nama awalnya.
“Tidak semua bisa saya jelaskan apalagi detail karena saya jarang menghabiskan waktu di mal, Pak. Saya lebih banyak di Taman Salma Shofa atau di Taman Gubang dan Langit Timur,” kataku akan menyudahi kisah pusat perbelanjaan di Samarinda kepada para peneliti sejarah ini.
Tentu saja aku tidak tahu, apakah yang kuceritakan bisa menjadi bahan penelitian mereka. Aku tidak menuliskan siapa yang punya, lokal atau dari luar, lika-liku pembangunannya, meskipun sebagian aku cukup tahu karena pernah kutulis saat aktif jadi pewarta.
“Maafkan saya, Pak. Jamuannya sama dengan kemarin malam. Masih teh panas. Tidak ada ‘makan berat.’ Padahal Bapak-bapak sudah empat jam mendengar saya berpidato. Semoga kesabaran Bapak mendengarkan saya bercerita dapat bermanfaat dan jadi amal baik.”
Aku menyudahi pidato, karena kulihat Dr. Muslimin sudah gelisah ditunggu tamunya. Dua doktor lain pun harus segera berkemas, karena esok pagi akan kembali ke Surabaya dan ‘Mengkasar.’
Sebenarnya aku akan mengajak mereka santai malam di resto paling mahal. Tetapi aku sadar dompetku tak berisi duit untuk membayarnya. Mau kuajak ke warung kaki lima, aku kuatir melukai perasaan tamuku.
Jadi? Aku diam saja ketika ketiganya sudah berada di mobil mereka dan lenyap ditelan gelap malam pukul dua puluh dua. *
Artikel ini telah lebih dulu terbit di media sosial Syafruddin Pernyata. Kaltim Faktual telah diberi izin untuk mempublikasikan ulang. 99,99 persen artikel di atas adalah tulisan asli sastrawan yang karib di sapa Pak Es tersebut. Terdapat beberapa suntingan sesuai kaidah PUEBI.
Ikuti penulis dengan klik ini.


-
SEPUTAR KALTIM5 hari yang lalu
Realisasi Janji Gratispol dan Jospol: Ribuan Warga Terima Penghargaan Umrah dan Insentif Guru
-
SAMARINDA4 hari yang lalu
Adnan Faridhan Usulkan Sistem Satgas SPMB Jadi Protokol Standar di Seluruh OPD Samarinda
-
PARIWARA4 hari yang lalu
Yamaha Motor Tampil Perdana di Jakarta E-Prix 2025 Sebagai Mitra Teknis Pengembangan Powertrain Formula E
-
SEPUTAR KALTIM5 hari yang lalu
Kaltim Siap Wujudkan Zero ODOL 2026, Tahapan Penindakan Dimulai Juli Ini
-
SEPUTAR KALTIM5 hari yang lalu
Pemprov Kaltim Gandeng LPEI, Dorong Desa Potensial Jadi Motor Ekonomi Ekspor
-
SEPUTAR KALTIM4 hari yang lalu
Kemenag Kaltim Gelar Media Gathering, Fokus pada Kerukunan dan Penguatan Pesantren
-
SEPUTAR KALTIM5 hari yang lalu
Transformasi Digital ASN: Perpustakaan Digital Jadi Pilar Penguatan Literasi dan Kompetensi
-
SEPUTAR KALTIM4 hari yang lalu
Kerukunan Beragama di Kaltim Dinilai Sangat Baik, Masyarakat Hidup Tenang Tanpa Kerusuhan