Connect with us

HIBURAN

Pentas Monolog Awal Tahun: Hadiah Indah dari Teater KAH

Diterbitkan

pada

Suasana panggung saat Pentas Monolog Teater KAH di Gedung HA Rizani Asnawi, Taman Budaya Kaltim, Minggu 23 Februari 2025. (Nindi/Kaltim Faktual)

Seni teater monolog hadir sebagai pembuka tahun dengan suguhan istimewa dari Teater KAH Samarinda. Mementaskan naskah “AO”, pertunjukan ini memikat penonton dengan paduan pencahayaan, tata panggung, dan akting memukau yang berujung pada riuh tepuk tangan.

Teater KAH, komunitas teater berbasis di Samarinda yang berdiri sejak 12 Desember 2014, mengusung slogan “Begaduh Forever” dengan ideologi “Kami Ada, Kami Berkarya.” Pada Minggu 23 Februari 2025, mereka mementaskan naskah sebanyak dua sesi di Gedung HA Rizani Asnawi, Taman Budaya Kaltim. Sesi pertama pukul 16.00 WITA dan sesi kedua pukul 20.00 WITA.

Satu Aktor, Panggung yang Berbicara

Pementasan monolog yang ditulis oleh Achmad Muslih Navis ini diperankan oleh Bhuyung Ardiansyah, satu-satunya aktor yang mendominasi panggung dari awal hingga akhir.

Baca juga:   Darurat Kekerasan Seksual, PMII Minta DPRD Samarinda Bertindak

Sejak memasuki area tempat duduk, penonton disambut alunan musik Belum Ada Satu Bulan dari Bernadya dan Mesra-mesranya Kecil-kecilan Dulu milik Sal Priadi. Suasana gelap semakin menguatkan antisipasi sebelum akhirnya sorot cahaya menerangi panggung utama.

Buyung tampil rapi dengan jas dan dasi di atas kemeja putihnya. Ia muncul dari balik tirai kayu bergambar luar angkasa dipenuhi uang, satu-satunya properti yang berdiri di tengah luasnya panggung. Dalam monolognya, ia memerankan seekor tikus, simbol yang sering diasosiasikan dengan koruptor di negeri ini.

Cerita diawali dengan kisah dua ekor tikus yang jatuh ke dalam tangki susu, yang kemudian berkembang menjadi refleksi keserakahan dan kekuasaan. Karakter tikus yang ia perankan perlahan bertransformasi menjadi sosok angkuh dan sombong.

Baca juga:   Atasi Persoalan Sampah, DPRD Samarinda Gagas Program "Si Pesut"

“Tanpa menunggu malam, mereka berebut mencium tanganku. Kiri-kanan, kulihat saja ramai pejabat cium tanganku,” ucapnya sambil menyanyikan lirik tersebut dengan nada Naik-naik ke Puncak Gunung.

Seiring jalannya cerita, kesombongan tikus itu semakin menjadi-jadi. Ia mulai menganggap dirinya sebagai Tuhan, melantunkan bait-bait serupa ayat suci. Pementasan mencapai klimaks ketika penonton serempak meneriakkan “AO”—sebuah momen yang menggetarkan, serupa dengan ucapan Aamiin dalam salat.

Simbolisme Kuat dan Kritik Tajam

Visual dan efek panggung semakin memperkuat pesan pertunjukan. Gelembung balon air, perubahan warna lampu, serta aksi aktor yang berlari, berguling, dan berteriak menghadirkan atmosfer yang intens. Dalam adegan klimaks, si tikus menghamburkan uang merah ke arah penonton, melambangkan keserakahan. Beberapa penonton bahkan tampak mengantongi uang tiruan bergambar manusia berkepala tikus.

Baca juga:   Soal Efisiensi Anggaran, Andi Harun: Tak Berdampak Besar, Justru Menguntungkan

Namun, kesombongan itu perlahan berubah menjadi kelemahan. Sorot lampu dari samping memperlihatkan sosok tikus yang kini manja dan tunduk pada “Tuhan”-nya. Hingga akhirnya, adegan penutup menyajikan suara tabrakan kendaraan dan panggung yang kembali gelap—tanda bahwa kekuasaan yang semu harus berakhir.

Pentas yang Menggugah dan Sarat Makna

Sebagai penutup, sesi diskusi karya digelar bersama para pelaku seni dan pegiat teater. Pertunjukan ini tak hanya berhasil menghibur, tetapi juga menyampaikan kritik sosial dan refleksi spiritual yang mendalam. Dengan kombinasi seni, simbolisme, dan pesan kuat tentang ketamakan manusia, pentas ini menjadi hadiah indah di awal tahun bagi pencinta teater di Samarinda. (nkh/sty)

Ikuti Berita lainnya di Gambar berikut tidak memiliki atribut alt; nama berkasnya adalah Logo-Google-News-removebg-preview.png

Bagikan

advertising

POPULER

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Hello. Add your message here.